Proses komunikasi secara primer
(primary process) adalah proses penyampaian pikiran oleh komunikator
kepada komunikan dengan meng-gunakan suatu lambang (symbol) sebagai
media atau saluran. Lambang ini umumnya bahasa, tetapi dalam situasi-situasi
komunikasi tertentu lambang-lambang yang dipergunakan dapat berupa kial (gesture),
yakni gerak anggota tubuh, gambar, warna, dan lain sebagainya. Dalam komunikasi bahasa
disebut lambang verbal (verbal symbol) sedangkan lambang-lambang lainnya
yang bukan bahasa dinamakan lambang nirverbal (non verbal symbol).
1) Lambang
verbal
Dalam proses komunikasi bahasa
sebagai lambang verbal paling banyak dan paling sering
digunakan, oleh karena hanya bahasa yang mampu mengungkapkan pikiran
komunikator mengenai hal atau peristiwa, baik yang konkret maupun yang abstrak,
yang terjadi masa kini, masa lalu dan masa yang akan dalang. Kita dapat
menelaah pikiran Socrates dan Aristoteles yang hidup ratusan tahun sebelum
masehi, dari buku-buku berkat kemampuah bahasa. Dengan bahasa kita dapat
mengungkapkan rencana kita untuk minggu depan, bulan depan, atau tahun dupan,
yang tidak mungkin dapat dijelaskan dengan lambang-lambang lain. Bagaimana
pentingnya bahasa dalam kehidupan manusia dipaparkan oleh Kong Hu Chu tatkala
ia ditanya orang apa yang pertama-tama akan dilakukan manakala diberi
kesempatan mengurus negara. Kong Hu Chu menegaskan bahwa yang pertama-tama akan
ia lakukan adalah membina bahasa, sebab apabila bahasa tidak tepat, apa yang
dikatakan bukan yang dimaksudkan. Jika yang dikatakan bukan yang dimaksudkan,
maka yang mestinya dikerjakan, tidak dilakukan. Jikalau yang harus dilakukan
terus-menerus tidak dilaksanakan, seni dan moral menjadi mundur. Bila seni dan
moral mundur, keadilan menjadi kabur, akibatnya rakyat menjadi bingung,
kehilangan pegangan. Masalah bagaimana seharusnya ketepatan bahasa untuk
mengungkapkan suatu maksud tertentu, dijumpai ketika berkecamuknya Perang Dunia
II yang lalu. Ketika Jepang diminta oleh sekutu (Amerika Serikat) agar menyerah
menjawab dengan menggunakan perkataan "mokusatsu” maksudnya adalah
"tidak memberikan komentar sampai keputusan diambil (with holding
comment until a decision has been made) tetapi kata mokusatsu oleh
Kantor Berita Domei diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi "ignore"
yang berarti "tidak perduli". Miskomunikasi inilah antara lain yang
menyebabkan Hirosima di bom atom dalam Perang Dunia tersebut. "Kata-kata
dapat menjadi dinamit" kata Scott M. Cutlip dan Alien H.Center dalam
bukunya "Effective Public Relations". Contoh di atas
menunjukkan betapa pentingnya bahasa dalam proses komunikasi. Bahasa mempunyai
dua jenis pengertian yang perlu dipahami oleh para komunikator. Yang pertama
adalah pengertian denotatif, yang kedua pengertian konotatif.
Perkataan yang denotatif
adalah yang mengandung makna sebagaimana tercantum dalam kamus (dictionary
meaning) dan diterima secara umum oleh kebanyakan orang yang sama
kebudayaannya dan bahasanya. Perkataan yang denotatif tidak
menimbulkan interpretasi yang berbeda pada komunikan ketika diterpa pesan-pesan
komunikasi. Sebaliknya apabila komunikator menggunakan kata-kata konotatif.
Kata-kata konotatif mengandung pengertian emosional atau evaluatif. Oleh
karena itu, dapat menimbulkan interpretasi yang berbeda pada komunikan.
Kebebasan mimbar
merupakan ungkapan yang konotatif, demikian pula kebebasan pers. Begitu juga
perkataan demokrasi. Secara etimologis demokrasi berasal dari kata "demos"
dan "cratein" yang berarti pemerintahan rakyat, tetapi bagi
orang Amerika, Korea, Kuba, Indonesia, dan bangsa-bangsa lain, istilah
demokrasi tadi bersifat konotatif, sebab masing-masing bangsa yang mengaku
negaranya demokratis, penilaiannya berbeda; maka sistem pemerintahannya pun
berbeda. Sehubungan dengan itu, ketika berkomunikasi komunikator harus
mengguna-kan kalimat-kalimat dengan kata-kata denotatif. Apabila kata-kata
konotatif tidak dapat dihindarkan, maka kata-kata bersangkutan harus diberi
penjelasan, tidak menimbulkan interpretasi yang berbeda antara komunikator
dengan komunikan.
Khusus dalam komunikasi
lisan, para pakar komunikator harus memperhatikan apa yang disebut oleh
Casagrande : para-language yang barangkali dapat diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia menjadi parabahasa. Yang dimaksudkan dengan parabahasa ini
adalah berbagai hal yang mengiringi pengucapan kata-kata ketika seseorang
berbicara atau berpidato, misalnya, gaya bicara, tekanan nada, volume suara,
logat, dan lain sebagainya. Andaikata anda berada di suatu ruangan, lalu anda
mendengar suara orang yang sedang bercakap-cakap, walaupun anda tidak
melihatnya, anda akan dapat menerka suara itu dari seorang wanita atau
laki-laki, anak atau dewasa, terpelajar atau tidak, Jawa atau Batak atau suku lain,
dan lain sebagainya. Demikianlah masalah bahasa sebagai lambang verbal
penyandang pikiran komunikator ketika ia menyampaikan pesannya kepada komunikan
dalam proses komunikasi secara primer.
2)
Lambang Nonverbal
Seperti telah disinggung
di muka lambang nonverbal adalah
lambang yang dipergunakan dalam komunikasi, yang bukan bahasa, misalnya isyarat
dengan anggota tubuh, antara lain kepala, mata, bibir, tangan, dan jari. Ray
L Birdwhistell dalam bukunya "Introduction to Kinesics" telah
melakukan analisis mengenai body communication. Dia mencoba untuk
memberi rangka kepada "comprehensive coding scheme" bagi
gerakan badan, seperti seorang linguist melakukannya untuk bahasa lisan.
Jika linguist menampilkan "phone" sebagai suara maka
Birdwhistell mengetengahkan "kine" sebagai gerakan. Apabila
linguist mengemukakan "phoneme", yakni sekelompok bunyi yang
berubah-ubah, maka Birdwhistell mengemukakan "kinime", yaitu sebuah
set gerakan yang berubah-ubah. Kalau linguist mencari "morpheme"
yang mengandung pengertian, Birdwhistell menyelidiki "kinemort"
serangkaian gerakan yang mengandung pengertian dalam konteks suatu pola yang
lebih besar. Tahap seperti disebutkan di atas adalah microkinesics;
lebih luas daripada itu adalah macrokinesics atau disebut juga social
kinesics, di mana sebuah gerakan (act) - yaitu pola yang menyangkut
lebih dari suatu area , akan bersangkutan dengan kerangka komunikasi yang lebih
luas. Body communication atau non-verbal communication
dalam bentuk gerak-gerik seperti disebutkan di atas banyak diteliti oleh para
ahli. Ternyata banyak sekali gerakan yang sama mengandung arti yang berlainan,
di antara bangsa yang satu dengan bangsa yang lain. Sebagai contoh: orang Toda
di India Selatan sebagai tanda hormat menekankan ibu jarinya pada batang
hidungnya, lalu melambaikan keempat jari lainnya ke depan. Gerakan seperti itu
bagi bangsa lain - termasuk bangsa Indonesia - lain sekali artinya, yakni
mengejek atau memperolok-olok. Termasuk komunikasi nonverbal ialah
isyarat dengan menggunakan alat. Siapa yang tidak mengenal bedug sebagai alat
komunikasi yang dipergunakan oleh kaum muslimin di Indonesia, atau bendera oleh
para kelasi, atau asap oleh orang Indian, dan sebagainya. Para Ustadz di
langgar-langgar sejak dahulu sampai zaman modern seperti sekarang ini
menggunakan bedug untuk memberitahukan kepada kaum muslimin, bahwa saat untuk
sembahyang sudah tiba. Para kelasi sudah terbiasa menggunakan bendera untuk
pemberikan isyarat atau dengan alat telegrafi untuk jarak jauh atas dasar
sistem Morse. Orang Indian sudah terbiasa pula melakukan komunikasi dengan
menggunakan asap untuk memberitahukan sesuatu kepada teman-temannya yang berada
di tempat jauh. Pada zaman modern
seperti sekarang ini, alat untuk berkomunikasi dengan isyarat bersifat modern
pula. Seorang pengendara mobil yang akan belok tidak perlu menjulurkan
tangannya; cukup dengan menjawel schakelaar lampu richtingnya,
maka dengan berkedip-kedipnya lampu merah di depan di belakang mobilnya, orang
tahu bahwa ia akan berbelok. Demikian pula polisi lalulintas tidak perlu
berdiri di bawah terik matahari tepat di perapatan jalan dengan menggunakan
lampu setopan dengan warna merah, kuning, dan hijau, para pemakai jalan
mengetahui kapan ia harus berhenti, kapan harus bersiap-siap, dan kapan boleh
berjalan lagi.
Gambar adalah lambang
lain yang dipergunakan dalam berkomunikasi nonverbal. Gambar dapat dipergunakan
untuk menyatakan suatu pikiran atau perasaan. Dalam hal tertentu gambar bisa
lebih efektif daripada bahasa. Tidak mengherankan, ada motto Tionghoa yang menyatakan
bahwa gambar bisa memberi informasi yang sama dengan kalau diuraikan dengan
seribu perkataan. Lambang gambar dalam proses komunikasi mengalami perkembangan
sesuai dengan pertumbuhan masyarakat dan kemajuan teknologi. Jika dahulu gambar
itu ditulis, kemudian dicetak, kini dengan kamera foto bisa dipotret, bahkan
dengan kamera film atau kamera video dapat diatur menjadi gambar hidup. Pada
akhirnya, apabila gambar itu merupakan lambang untuk proses komunikasi secara
primer, menjadi lambang untuk proses komunikasi secara sekunder. Demikian
sekaligus mengenai lambang verbal dan nonverbal dalam proses komunikasi secara
primer yang untuk efektifnya komunikasi seringkali oleh para komunikator
dipadukan, misalnya dalam kuliah atau ceramah disajikan gambar, bagan, tabel,
dan lain-lain sebagai ilustrasi untuk memperjelas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar