BAB
I
PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG
Problematika mengenai
angka pengangguran di Indonesia tentu bukan hal baru lagi bagi masyarakat kita.
Bahkan menurut Badan Pusat Statistik (Maret 2011), saat ini terdapat lebih dari
8,13 juta jiwa atau setara dengan 6,8 persen pengangguran yang tersebar di
seluruh wilayah Indonesia. Hal ini menjadi salah satu bukti nyata bahwa tingkat
pengangguran di negara kita masih cukup tinggi, meskipun jumlah tersebut sudah
mengalami penurunan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Rendahnya daya serap tenaga kerja di Indonesia membuat
kondisi tersebut belum bisa diselesaikan secara tuntas oleh pihak pemerintah
maupun instansi terkait lainnya. Karena itulah dibutuhkan solusi tepat
untuk mengurangi jumlah pengangguran yang setiap harinya menunjukan
peningkatan. Salah satunya yaitu dengan mendorong laju pertumbuhanusaha kecil menengah di seluruh penjuru
Indonesia.
Munculnya unit usaha
kecil dan menengah ternyata tidak hanya memberikan dampak positif bagi
pendapatan masyarakat, namun juga sangat membantu penyerapan tenaga kerja dan
mengurangi angka pengangguran di Indonesia. Meskipun para pelaku UKM masih
sering mendapat kendala khususnya di bidang permodalan, namun kontribusi usaha kecil menengah terhadap penyediaan
lapangan kerja cukuplah tinggi, bahkan diperkirakan bisa memberikan peluang
kerja bagi 96.211.000 masyarakat, dan menjadi donatur Pendapatan Domestik Bruto
(PDB) hingga mencapai 56,53%.
Sejak tahun 2008
sampai 2011, tercatat ada sekitar 52,77 juta unit UKM di Indonesia yang telah
memberikan lapangan pekerjaan cukup besar bagi masyarakat lokal yang ada di
sekitar lokasi usaha. Kondisi ini tentu merupakan kabar bagus bagi perekonomian
Indonesia, mengingat UKM berperan penting sebagai saka guru dan penyelamat
perekonomian nasional sejak krisis ekonomi melanda Indonesia pada tahun
1998-1999.
Tumbuhnya UKM-UKM di
Indonesia menjadi langkah awal bagi perbaikan ekonomi nasional hingga akhirnya
target pemerintah untuk menurunkan angka kemiskinan menjadi 8% di tahun 2014
bisa segera terwujud dengan penciptaan lapangan kerja bagi seluruh lapisan
masyarakat Indonesia. Maju terus UKM Indonesia, dan ciptakan lapangan
kerja sebanyak-banyaknya. Salam sukses.
Usaha Kecil dan Menengah (UKM) mempunyai peran yang
strategis dalam pembangunan ekonomi nasional, oleh karena selain berperan dalam
pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja juga berperan dalam
pendistribusian hasil-hasil pembangunan. Dalam krisis ekonomi yang terjadi di
negara kita sejak beberapa waktu yang lalu, dimana banyak usaha berskala besar
yang mengalami stagnasi bahkan berhenti aktifitasnya, sektor Usaha Kecil dan
Menengah (UKM) terbukti lebih tangguh dalam menghadapi krisis tersebut. Mengingat
pengalaman yang telah dihadapi oleh Indonesia selama krisis, kiranya tidak
berlebihan apabila pengembangan sektor swasta difokuskan pada UKM, terlebih
lagi unit usaha ini seringkali terabaikan hanya karena hasil produksinya dalam
skala kecil dan belum mampu bersaing dengan unit usaha lainnya.
Pengembangan UKM perlu mendapatkan perhatian yang
besar baik dari pemerintah maupun masyarakat agar dapat berkembang lebih
kompetitif bersama pelaku ekonomi lainnya. Kebijakan pemerintah ke depan perlu
diupayakan lebih kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya UKM. Pemerintah perlu
meningkatkan perannya dalam memberdayakan UKM disamping mengembangkan kemitraan
usaha yang saling menguntungkan antara pengusaha besar dengan pengusaha kecil,
dan meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusianya.
Usaha Kecil dan Menengah (UKM) adalah sebuah
istilah yang mengacu ke jenis usaha kecil yang memiliki kekayaan bersih
paling banyak Rp 200.000.000 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha,
dan usahanya berdiri sendiri. Menurut Keputusan Presiden RI no. 99 tahun 1998
maka pengertian Usaha Kecil adalah: “Kegiatan ekonomi rakyat
yang berskala kecil dengan bidang usaha yang secara mayoritas merupakan
kegiatan usaha kecil dan perlu dilindungi untuk
mencegah dari persaingan usaha yang tidak sehat.”
Usaha Kecil Menengah
(UKM) merupakan kegiatan usaha yang mampu memperluas lapangan kerja, memberikan
pelayanan ekonomi secara luas kepada masyarakat, berperan dalam proses
pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat, mendorong pertumbuhan
ekonomi, dan berperan dalam mewujudkan stabilitas nasional. Selain itu, UKM
adalah salah satu pilar utama ekonomi nasional yang harus memperoleh kesempatan
utama, dukungan, perlindungan, dan pengembangan seluas-luasnya sebagai wujud
keberpihakan yang tegas kepada kelompok usaha ekonomi rakyat. Meskipun UKM
telah menunjukkan peranannya dalam perekonomian nasional, namun masih
menghadapi berbagai hambatan iklim usaha, baik yang bersifat internal maupun
eksternal, contohnya produksi, pengolahan, pemasaran, sumber daya manusia,
desain dan teknologi, permodalan.
II. RUMUSAN MASALAH
1. Definisi Usaha
Kecil Menengah (UKM)
2. Macam-macam
Klasifikasi UKM
3. Bagaimana kinerja
UKM di Indonesia
4. Masalah apa saja
yang dihadapi oleh UKM
III. TUJUAN
1. Menjelaskan hal-hal
yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah agar mampu berperan sebagai
katalisator dalam pengembangan UKM.
2. Dapat menjadikan
bahan tinjauan bagi pemerintah daerah sehingga mampu mengembangkan UKM dengan
efektif dan optimal. Dengan kata lain, pemerintah daerah akan mampu menjalankan
fungsi sebagai fasilisator, regulator, dan kasalisator pemerintah, akan tumbuh
pemikiran-pemikiran baru dalam pengembangan peran pemerintah daerah sebagai
regulator, fasilisator dan katalisator.
IV. METODE ATAU STRATEGI
Untuk pengembangan UKM ada beberapa metode atau
strategi yang meliputi aspek-aspek sebagai beriukut :
a. Peningkatan akses
produktif terutama modal, di samping juga teknologi, manajemen, dan segi-segi
lainnya yang penting.
b. Peningkatan akses
pada pasar, yang meliputi suatu spectrum kegiatan yang luas, mulai dari
perancangan usaha, sampai pada informasi pasar, bantuan produksi dan prasarana
serta sarana pemasaran
c. Kewirausahaan , dalam
hal ini pelatihan-pelatihan mengenai pengetahuan dan keterampilan yang di
perlukan untuk berusaha teramat penting. Namun, bersamaan dengan atau dalam
pelatihan itu penting pula ditanamkan semangat wirausaha.
d. Kelembagaan.
Kelembagaan ekonomi dalam arti luas adalah pasar.
V. SISTEMATIKA
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini di
jelaskan mengenai latar belakang dari penyusunan karya makalah, pembahasan
permasalahan, tujuan dan sistematika dari penyusunan makalah ini .
BAB II PEMBAHASAN
Bab ini
menjelaskan pengertian UKM , pengaruh
kritik UKM terhadap perekonomian masyarakat Indonesia ditinjau dari sudut
pandang ekonomi teknik , Peran
UKM , dan Masalah yang di hadapi UKM
BAB II KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini
menjelaskan tentang kesimpulan dari penelitian dan keterbatasan dalam membuat
makalah ini , serta saran atas pembuatan makalah yang di lakukan .
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi UKM di Indonesia
Beberapa lembaga atau instansi bahkan UU memberikan definisi Usaha Kecil
Menengah (UKM), diantaranya adalah Kementrian Negara Koperasi dan Usaha Kecil
Menengah (Menegkop dan UKM), Badan Pusat Statistik (BPS), Keputusan Menteri
Keuangan No 316/KMK.016/1994 tanggal 27 Juni 1994, dan UU No. 20 Tahun 2008.
Definisi UKM yang disampaikan berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya.
Menurut Kementrian Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Menegkop
dan UKM), bahwa yang dimaksud dengan Usaha Kecil (UK), termasuk Usaha Mikro
(UMI), adalah entitas usaha yang mempunyai memiliki kekayaan bersih paling
banyak Rp 200.000.000, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, dan
memiliki penjualan tahunan paling banyak Rp 1.000.000.000. Sementara itu, Usaha
Menengah (UM) merupakan entitas usaha milik warga negara Indonesia yang
memiliki kekayaan bersih lebih besar dari Rp 200.000.000 s.d. Rp
10.000.000.000, tidak termasuk tanah dan bangunan.
Badan Pusat Statistik (BPS) memberikan definisi UKM berdasarkan kunatitas
tenaga kerja. Usaha kecil merupakan entitas usaha yang memiliki jumlah tenaga
kerja 5 s.d 19 orang, sedangkan usaha menengah merupakan entitias usaha yang
memiliki tenaga kerja 20 s.d. 99 orang. Berdasarkan Keputuasan Menteri Keuangan
Nomor 316/KMK.016/1994 tanggal 27 Juni 1994, usaha kecil didefinisikan sebagai
perorangan atau badan usaha yang telah melakukan kegiatan/usaha yang mempunyai
penjualan/omset per tahun setinggi-tingginya Rp 600.000.000 atau aset/aktiva
setinggi-tingginya Rp 600.000.000 (di luar tanah dan bangunan yang ditempati)
terdiri dari : (1) badang usaha (Fa, CV, PT, dan koperasi) dan (2) perorangan
(pengrajin/industri rumah tangga, petani, peternak, nelayan, perambah hutan,
penambang, pedagang barang dan jasa).
2.2 Definisi dan Kriteria UKM menurut Lembaga dan Negara Asing
Pada prinsipnya definisi dan kriteria UKM di negara-negara asing didasarkan pada aspek-aspek sebagai berikut : (1) jumlah tenaga kerja, (2) pendapatan dan (3) jumlah aset. Paparan berikut adalah kriteria-kriteria UKM di negara-negara atau lembaga asing.
1. World Bank, membagi UKM ke dalam 3 jenis, yaitu :
• Medium Enterprise, dengan kriteria :
a) Jumlah karyawan maksimal 300 orang
b) Pendapatan setahun hingga sejumlah $ 15 juta
c) Jumlah aset hingga sejumlah $ 15 juta
• Micro Enterprise, dengan kriteria :
a) Jumlah karyawan kurang dari 30 orang
b) Pendapatan setahun tidak melebihi $ 3 juta
• Small Enterprise, dengan kriteria :
a) Jumlah karyawan kurang dari 10 orang
b) Pendapatan setahun tidak melebihi $ 100 ribu
c) Jumlah aset tidak melebihi $ 100 ribu
2. Singapura mendefinisikan UKM sebagai usaha yang memiliki minimal 30% pemegang saham lokal serta aset produktif tetap (fixed productive asset) di bawah SG $ 15 juta.
3. Malaysia, menetapkan definisi UKM sebagai usaha yang memiliki jumlah karyawan yang bekerja penuh (full time worker) kurang dari 75 orang atau yang modal pemegang sahamnya kurang dari M $ 2,5 juta.
Definisi ini dibagi
menjadi dua, yaitu :
• Small Industry (SI), dengan kriteria jumlah karyawan 5 – 50 orang atau jumlah modal saham sampai sejumlah M $ 500 ribu
• Medium Industry (MI), dengan kriteria jumlah karyawan 50 – 75 orang atau jumlah modal saham sampai sejumlah M $ 500 ribu – M $ 2,5 juta.
4. Jepang, membagi UKM sebagai berikut :
• Mining and manufacturing, dengan kriteria jumah karyawan maksimal 300 orang atau jumlah modal saham sampai sejumlah US$2,5 juta.
• Wholesale, dengan kriteria jumlah karyawan maksimal 100 orang atau jumlah modal saham sampai US$ 840 ribu
• Retail, dengan kriteria jumlah karyawan maksimal 54 orang atau jumlah modal saham sampai US$ 820 ribu
• Service, dengan kriteria jumlah karyawan maksimal 100 orang atau jumlah modal saham sampai US$ 420 ribu
2.3 Klasifikasi UKM
Dalam perspektif perkembangannya, UKM dapat diklasifikasikan menjadi 4 (empat) kelompok yaitu :
• Small Industry (SI), dengan kriteria jumlah karyawan 5 – 50 orang atau jumlah modal saham sampai sejumlah M $ 500 ribu
• Medium Industry (MI), dengan kriteria jumlah karyawan 50 – 75 orang atau jumlah modal saham sampai sejumlah M $ 500 ribu – M $ 2,5 juta.
4. Jepang, membagi UKM sebagai berikut :
• Mining and manufacturing, dengan kriteria jumah karyawan maksimal 300 orang atau jumlah modal saham sampai sejumlah US$2,5 juta.
• Wholesale, dengan kriteria jumlah karyawan maksimal 100 orang atau jumlah modal saham sampai US$ 840 ribu
• Retail, dengan kriteria jumlah karyawan maksimal 54 orang atau jumlah modal saham sampai US$ 820 ribu
• Service, dengan kriteria jumlah karyawan maksimal 100 orang atau jumlah modal saham sampai US$ 420 ribu
2.3 Klasifikasi UKM
Dalam perspektif perkembangannya, UKM dapat diklasifikasikan menjadi 4 (empat) kelompok yaitu :
1. Livelihood Activities, merupakan UKM yang digunakan sebagai kesempatan kerja untuk mencari nafkah, yang lebih umum dikenal sebagai sektor informal. Contohya adalah pedagang kaki lima
2. Micro Enterprise, merupakan UKM yang memiliki sifat pengrajin tetapi belum memiliki sifat kewirausahaan
3. Small Dynamic Enterprise, merupakan UKM yang telah memiliki jiwa kewirausahaan dan mampu menerima pekerjaan subkontrak dan ekspor
4. Fast Moving Enterprise, merupakam UKM yang telah memiliki jiwa kewirausahaan dan akan melakukan transformasi menjadi Usaha Besar (UB)
2.4 Undang-Undang dan
Peraturan Tentang UKM
Berikut ini adalah
list beberapa UU dan Peraturan tentang UKM :
1. UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil
2. PP No. 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan
3. PP No. 32 Tahun 1998 tentang Pembinaan dan Pengembangan Usaha Kecil
4. Inpres No. 10 Tahun 1999 tentang Pemberdayaan Usaha Menengah
5. Keppres No. 127 Tahun 2001 tentang Bidang/Jenis Usaha Yang Dicadangkan Untuk Usaha Kecil dan Bidang/Jenis Usaha Yang Terbuka Untuk Usaha Menengah atau Besar Dengan Syarat Kemitraan
6. Keppres No. 56 Tahun 2002 tentang Restrukturisasi Kredit Usaha Kecil dan Menengah
7. Permenneg BUMN Per-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan
8. Permenneg BUMN Per-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara
9. Undang-undang No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
2.5 Kinerja UKM di Indonesia
1. UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil
2. PP No. 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan
3. PP No. 32 Tahun 1998 tentang Pembinaan dan Pengembangan Usaha Kecil
4. Inpres No. 10 Tahun 1999 tentang Pemberdayaan Usaha Menengah
5. Keppres No. 127 Tahun 2001 tentang Bidang/Jenis Usaha Yang Dicadangkan Untuk Usaha Kecil dan Bidang/Jenis Usaha Yang Terbuka Untuk Usaha Menengah atau Besar Dengan Syarat Kemitraan
6. Keppres No. 56 Tahun 2002 tentang Restrukturisasi Kredit Usaha Kecil dan Menengah
7. Permenneg BUMN Per-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan
8. Permenneg BUMN Per-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara
9. Undang-undang No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
2.5 Kinerja UKM di Indonesia
UKM di negara berkembang, seperti di Indonesia, sering dikaitkan dengan
masalah-masalah ekonomi dan sosial dalam negeri seperti tingginya tingkat
kemiskinan, besarnya jumlah pengangguran, ketimpangan distribusi pendapatan,
proses pembangunan yang tidak merata antara daerah perkotaan dan perdesaan,
serta masalah urbanisasi. Perkembangan UKM diharapkan dapat memberikan
kontribusi positif yang signifikan terhadap upaya-upaya penanggulangan
masalah-masalah tersebut di atas.
Karakteristik UKM di Indonesia, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
AKATIGA, the Center for Micro and Small Enterprise Dynamic (CEMSED), dan the
Center for Economic and Social Studies (CESS) pada tahun 2000, adalah mempunyai
daya tahan untuk hidup dan mempunyai kemampuan untuk meningkatkan kinerjanya
selama krisis ekonomi. Hal ini disebabkan oleh fleksibilitas UKM dalam
melakukan penyesuaian proses produksinya, mampu berkembang dengan modal
sendiri, mampu mengembalikan pinjaman dengan bunga tinggi dan tidak terlalu
terlibat dalam hal birokrasi.
1. Sebagian UKM menghasilkan barang-barang konsumsi (consumer goods), khususnya yang tidak tahan lama,
2. Mayoritas UKM lebih mengandalkan pada non-banking financing dalam aspek pendanaan usaha,
3. Pada umumnya UKM melakukan spesialisasi produk yang ketat, dalam arti hanya memproduksi barang atau jasa tertentu saja, dan
4. Terbentuknya UKM baru sebagai akibat dari banyaknya pemutusan hubungan kerja di sektor formal.
UKM di Indonesia mempunyai peranan yang penting sebagai penopang perekonomian.
Penggerak utama perekonomian di Indonesia selama ini pada dasarnya adalah
sektor UKM.
Kinerja UKM di Indonesia dapat ditinjau dari beberapa aspek, yaitu :
1. Nilai Tambah
Kinerja perekonomian Indonesia yang diciptakan oleh UKM tahun 2006 bila
dibandingkan tahun sebelumnya digambarkan dalam angka Produk Domestik Bruto
(PDB) UKM pertumbuhannya mencapai 5,4 persen. Nilai PDB UKM atas dasar harga
berlaku mencapai Rp 1.778,7 triliun meningkat sebesar Rp 287,7 triliun dari
tahun 2005 yang nilainya sebesar 1.491,2 triliun. UKM memberikan kontribusi
53,3 persen dari total PDB Indonesia. Bilai dirinci menurut skala usaha, pada
tahun 2006 kontribusi Usaha Kecil sebesar 37,7 persen, Usaha Menengah sebesar 15,6
persen, dan Usaha Besar sebesar 46,7 persen.
2. Unit Usaha dan
Tenaga Kerja
Pada tahun 2006 jumlah populasi UKM mencapai 48,9 juta unit usaha atau 99,98 persen terhadap total unit usaha di Indonesia. Sementara jumlah tenaga kerjanya mencapai 85,4 juta orang.
3. Ekspor UKM
Pada tahun 2006 jumlah populasi UKM mencapai 48,9 juta unit usaha atau 99,98 persen terhadap total unit usaha di Indonesia. Sementara jumlah tenaga kerjanya mencapai 85,4 juta orang.
3. Ekspor UKM
Hasil produksi UKM yang diekspor ke luar negeri mengalami peningkatan dari Rp
110,3 triliun pada tahun 2005 menjadi 122,2 triliun pada tahun 2006. Namun
demikian peranannya terhadap total ekspor non migas nasional sedikit menurun
dari 20,3 persen pada tahun 2005 menjadi 20,1 persen pada tahun 2006.
2.6 Kemitraan Usaha dan Masalahnya
Dalam menghadapi persaingan di abad ke-21, UKM dituntut untuk melakukan
restrukturisasi dan reorganisasi dengan tujuan untuk memenuhi permintaan
konsumen yang makin spesifik, berubah dengan cepat, produk berkualitas tinggi,
dan harga yang murah . Salah satu upaya yang dapat dilakukan UKM adalah melalui
hubungan kerjasama dengan Usaha Besar (UB). Kesadaran akan kerjasama ini telah
melahirkan konsep supply chain management (SCM) pada tahun 1990-an. Supply
chain pada dasarnya merupakan jaringan perusahaan-perusahaan yang secara
bersama-sama bekerja untuk menciptakan dan menghantarkan suatu produk ke tangan
pemakai akhir. Pentingnya persahabatan, kesetiaan, dan rasa saling percaya
antara industri yang satu dengan lainnya untuk menciptakan ruang pasar tanpa
pesaing, yang kemudian memunculkan konsep blue ocean strategy.
Kerjasama antara perusahaan di Indonesia, dalam hal ini antara UKM dan UB,
dikenal dengan istilah kemitraan (Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 1997
tentang Kemitraan). Kemitraan tersebut harus disertai pembinaan UB terhadap UKM
yang memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling
menguntungkan. Kemitraan merupakan suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh
dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan
bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan. Kemitraan
merupakan suatu rangkaian proses yang dimulai dengan mengenal calon mitranya,
mengetahui posisi keunggulan dan kelemahan usahanya, memulai membangun strategi,
melaksanakan, memonitor, dan mengevaluasi sampai target tercapai.
Pola kemitraan antara UKM dan UB di Indonesia yang telah dibakukan, menurut UU
No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil dan PP No. 44 Tahun 1997 tentang
kemitraan, terdiri atas 5 (lima) pola, yaitu :
1.Inti Plasma
Pola pertama, yaitu inti plasma merupakan hubungan kemitraan antara UKM dan UB
sebagai inti membina dan mengembangkan UKM yang menjadi plasmanya dalam
menyediakan lahan, penyediaan sarana produksi, pemberian bimbingan teknis manajemen
usaha dan produksi, perolehan, penguasaan dan peningkatan teknologi yang
diperlukan bagi peningkatan efisiensi dan produktivitas usaha. Dalam hal ini,
UB mempunyai tanggung jawab sosial (corporate social responsibility) untuk
membina dan mengembangkan UKM sebagai mitra usaha untuk jangka panjang.
2.Subkontrak
Pola kedua, yaitu subkontrak merupakan hubungan kemitraan UKM dan UB, yang
didalamnya UKM memproduksi komponen yang diperlukan oleh UB sebagai bagian dari
produksinya. Subkontrak sebagai suatu sistem yang menggambarkan hubungan antara
UB dan UKM, di mana UB sebagai perusahaan induk (parent firma) meminta kepada
UKM selaku subkontraktor untuk mengerjakan seluruh atau sebagian pekerjaan
(komponen) dengan tanggung jawab penuh pada perusahaan induk. Selain itu, dalam
pola ini UB memberikan bantuan berupa kesempatan perolehan bahan baku,
bimbingan dan kemampuan teknis produksi, penguasaan teknologi, dan pembiayaan.
3.Dagang Umum
Pola ketiga, yaitu dagang umum merupakan hubungan kemitraan UKM dan UB, yang di
dalamnya UB memasarkan hasil produksi UKM atau UKM memasok kebutuhan yang
diperlukan oleh UB sebagai mitranya. Dalam pola ini UB memasarkan produk atau
menerima pasokan dari UKM untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan oleh UB.
4.Keagenan
Pola keempat, yaitu
keagenan merupakan hubungan kemitraan antara UKM dan UB, yang di dalamnya UKM
diberi hak khusus untuk memasarkan barang dan jasa UB sebagai mitranya. Pola
keagenan merupakan hubungan kemitraan, di mana pihak prinsipal memproduksi atau
memiliki sesuatu, sedangkan pihak lain (agen) bertindak sebagai pihak yang
menjalankan bisnis tersebut dan menghubungkan produk yang bersangkutan langsung
dengan pihak ketiga.
5.Waralaba
Pola kelima, yaitu waralaba merupakan hubungan kemitraan, yang di dalamnya
pemberi waralaba memberikan hak penggunaan lisensi, merek dagang, dan saluran
distribusi perusahaannya kepada penerima waralaba dengan disertai bantuan
bimbingan manajemen. Dalam pola ini UB yang bertindak sebagai pemberi waralaba
menyediakan penjaminan yang diajukan oleh UKM sebagai penerima waralaba kepada
pihak ketiga.
Kemitraan dengan UB begitu penting buat pengembangan UKM. Kunci keberhasilan
UKM dalam persaingan baik di pasar domestik maupun pasar global adalah
membangun kemitraan dengan perusahaan-perusahaan yang besar. Pengembangan UKM
memang dianggap sulit dilakukan tanpa melibatkan partisipasi usaha-usaha besar.
Dengan kemitraan UKM dapat melakukan ekspor melalui perusahaan besar yang sudah
menjadi eksportir, baru setelah merasa kuat dapat melakukan ekspor sendiri.
Disamping itu, kemitraan merupakan salah satu solusi untuk mengatasi
kesenjangan antara UKM dan UB. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tumbuh
kembangnya UKM di Indonesia tidak terlepas dari fungsinya sebagai mitra dari UB
yang terikat dalam suatu pola kemitraan usaha.
Manfaat yang dapat diperoleh bagi UKM dan UB yang melakukan kemitraan
diantaranya adalah Pertama, dari sudut pandang ekonomi, kemitraan usaha
menuntut efisiensi, produktivitas, peningkatan kualitas produk, menekan biaya
produksi, mencegah fluktuasi suplai, menekan biaya penelitian dan pengembangan,
dan meningkatkan daya saing. Kedua, dari sudut moral, kemitraan usaha
menunjukkan upaya kebersamaan dam kesetaraan. Ketiga, dari sudut pandang
soial-politik, kemitraan usaha dapat mencegah kesenjangan sosial, kecemburuan
sosial, dan gejolah sosial-politik.
Kemanfaatan ini dapat dicapai sepanjang kemitraan yang dilakukan didasarkan
pada prinsip saling memperkuat, memerlukan, dan menguntungkan.
Keberhasilan kemitraan usaha sangat ditentukan oleh adanya kepatuhan di antara
yang bermitra dalam menjalankan etika bisnisnya. Pelaku-pelaku yang terlibat
langsung dalam kemitraan harus memiliki dasar-dasar etikan bisnis yang dipahami
dan dianut bersama sebagai titik tolak dalam menjalankan kemitraan.
Menurut Keraf (1995) etika adalah sebuah refleksi kritis dan rasional mengenai
nilai dan norma moral yang menentukan dan terwujud dalam sikap dan pola
perilaku hidup manusia, baik sebagai pribadi maupun sebagai kelompok. Dengan
demikian, keberhasilan kemitraan usaha tergantung pada adanya kesamaan nilai,
norma, sikap, dan perilaku dari para pelaku yang menjalankan kemitraan
tersebut.
Pada umumnya, permasalahan yang dihadapi oleh Usaha Kecil dan Menengah (UKM), antara lain meliputi:
• Faktor Internal
1. Kurangnya Permodalan dan Terbatasnya Akses Pembiayaan
Permodalan merupakan faktor utama yang diperlukan untuk mengembangkan suatu
unit usaha. Kurangnya permodalan UKM, oleh karena pada umumnya usaha kecil dan
menengah merupakan usaha perorangan atau perusahaan yang sifatnya tertutup,
yang mengandalkan modal dari si pemilik yang jumlahnya sangat terbatas,
sedangkan modal pinjaman dari bank atau lembaga keuangan lainnya sulit
diperoleh karena persyaratan secara administratif dan teknis yang diminta oleh
bank tidak dapat dipenuhi. Persyaratan yang menjadi hambatan terbesar bagi UKM
adalah adanya ketentuan mengenai agunan karena tidak semua UKM memiliki harta
yang memadai dan cukup untuk dijadikan agunan.
2.
Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM)
Sebagian besar usaha kecil tumbuh secara tradisional dan merupakan usaha
keluarga yang turun temurun. Keterbatasan kualitas SDM usaha kecil baik dari
segi pendidikan formal maupun pengetahuan dan keterampilannya sangat
berpengaruh terhadap manajemen pengelolaan usahanya, sehingga usaha tersebut
sulit untuk berkembang dengan optimal. Disamping itu dengan keterbatasan
kualitas SDM-nya, unit usaha tersebut relatif sulit untuk mengadopsi
perkembangan teknologi baru untuk meningkatkan daya saing produk yang
dihasilkannya.
3. Lemahnya Jaringan Usaha dan Kemampuan Penetrasi Pasar
Usaha kecil yang pada umumnya merupakan unit usaha keluarga, mempunyai jaringan
usaha yang sangat terbatas dan kemampuan penetrasi pasar yang rendah, ditambah
lagi produk yang dihasilkan jumlahnya sangat terbatas dan mempunyai kualitas
yang kurang kompetitif. Berbeda dengan usaha besar yang telah mempunyai
jaringan yang sudah solid serta didukung dengan teknologi yang dapat menjangkau
internasional dan promosi yang baik.
4. Mentalitas Pengusaha UKM
Hal penting yang seringkali pula terlupakan dalam setiap pembahasan mengenai
UKM, yaitu semangat entrepreneurship para pengusaha UKM itu sendiri.[17]
Semangat yang dimaksud disini, antara lain kesediaan terus berinovasi, ulet
tanpa menyerah, mau berkorban serta semangat ingin mengambil risiko.[18]
Suasana pedesaan yang menjadi latar belakang dari UKM seringkali memiliki andil
juga dalam membentuk kinerja. Sebagai contoh, ritme kerja UKM di daerah berjalan
dengan santai dan kurang aktif sehingga seringkali menjadi penyebab hilangnya
kesempatan-kesempatan yang ada.
5. Kurangnya Transparansi
Kurangnya transparansi antara generasi awal pembangun UKM tersebut terhadap
generasi selanjutnya. Banyak informasi dan jaringan yang disembunyikan dan
tidak diberitahukan kepada pihak yang selanjutnya menjalankan usaha tersebut
sehingga hal ini menimbulkan kesulitan bagi generasi penerus dalam
mengembangkan usahanya.
• Faktor Eksternal
1. Iklim Usaha Belum Sepenuhnya Kondusif
Upaya pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dari tahun ke tahun selalu
dimonitor dan dievaluasi perkembangannya dalam hal kontribusinya terhadap
penciptaan produk domestik brutto (PDB), penyerapan tenaga kerja, ekspor dan
perkembangan pelaku usahanya serta keberadaan investasi usaha kecil dan
menengah melalui pembentukan modal tetap brutto (investasi). Keseluruhan
indikator ekonomi makro tersebut selalu dijadikan acuan dalam penyusunan
kebijakan pemberdayaan UKM serta menjadi indikator keberhasilan pelaksanaan
kebijakan yang telah dilaksanakan pada tahun sebelumnya.Kebijaksanaan
Pemerintah untuk menumbuhkembangkan UKM, meskipun dari tahun ke tahun terus
disempurnakan, namun dirasakan belum sepenuhnya kondusif. Hal ini terlihat
antara lain masih terjadinya persaingan yang kurang sehat antara
pengusaha-pengusaha kecil dan menengah dengan pengusaha-pengusaha besar.
Kendala lain yang dihadapi oleh UKM adalah mendapatkan perijinan untuk
menjalankan usaha mereka. Keluhan yang seringkali terdengar mengenai banyaknya
prosedur yang harus diikuti dengan biaya yang tidak murah, ditambah lagi dengan
jangka waktu yang lama. Hal ini sedikit banyak terkait dengan kebijakan
perekonomian Pemerintah yang dinilai tidak memihak pihak kecil seperti UKM
tetapi lebih mengakomodir kepentingan dari para pengusaha besar.
2. Terbatasnya Sarana dan Prasarana Usaha
Kurangnya informasi yang berhubungan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi, menyebabkan sarana dan prasarana yang mereka miliki juga tidak cepat
berkembang dan kurang mendukung kemajuan usahanya sebagaimana yang diharapkan.
Selain itu, tak jarang UKM kesulitan dalam memperoleh tempat untuk menjalankan
usahanya yang disebabkan karena mahalnya harga sewa atau tempat yang ada kurang
strategis.
3.
Pungutan Liar
Praktek pungutan tidak resmi atau lebih dikenal dengan pungutan liar menjadi
salah satu kendala juga bagi UKM karena menambah pengeluaran yang tidak
sedikit. Hal ini tidak hanya terjadi sekali namun dapat berulang kali secara
periodik, misalnya setiap minggu atau setiap bulan.
4. Implikasi Otonomi Daerah
Dengan berlakunya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
yang kemudian diubah dengan UU No. 32 Tahun 2004, kewenangan daerah mempunyai
otonomi untuk mengatur dan mengurus masyarakat setempat. Perubahan sistem ini
akan mempunyai implikasi terhadap pelaku bisnis kecil dan menengah berupa
pungutan-pungutan baru yang dikenakan pada UKM. Jika kondisi ini tidak segera
dibenahi maka akan menurunkan daya saing UKM. Disamping itu, semangat
kedaerahan yang berlebihan, kadang menciptakan kondisi yang kurang menarik bagi
pengusaha luar daerah untuk mengembangkan usahanya di daerah tersebut.
5. Implikasi Perdagangan Bebas
Sebagaimana diketahui bahwa AFTA yang mulai berlaku Tahun 2003 dan APEC Tahun
2020 berimplikasi luas terhadap usaha kecil dan menengah untuk bersaing dalam
perdagangan bebas. Dalam hal ini, mau tidak mau UKM dituntut untuk melakukan
proses produksi dengan produktif dan efisien, serta dapat menghasilkan produk
yang sesuai dengan frekuensi pasar global dengan standar kualitas seperti isu
kualitas (ISO 9000), isu lingkungan (ISO 14.000), dan isu Hak Asasi Manusia
(HAM) serta isu ketenagakerjaan. Isu ini sering digunakan secara tidak fair
oleh negara maju sebagai hambatan (Non Tariff Barrier for Trade). Untuk itu,
UKM perlu mempersiapkan diri agar mampu bersaing baik secara keunggulan
komparatif maupun keunggulan kompetitif.
6. Sifat Produk dengan Ketahanan Pendek
Sebagian besar produk industri kecil memiliki ciri atau karakteristik sebagai
produk-produk dan kerajinan-kerajian dengan ketahanan yang pendek. Dengan kata
lain, produk-produk yang dihasilkan UKM Indonesia mudah rusak dan tidak tahan
lama.
7. Terbatasnya Akses Pasar
Terbatasnya akses pasar akan menyebabkan produk yang dihasilkan tidak dapat
dipasarkan secara kompetitif baik di pasar nasional maupun internasional.
8. Terbatasnya Akses Informasi
Selain akses pembiayaan, UKM juga menemui kesulitan dalam hal akses terhadap
informasi. Minimnya informasi yang diketahui oleh UKM, sedikit banyak
memberikan pengaruh terhadap kompetisi dari produk ataupun jasa dari unit usaha
UKM dengan produk lain dalam hal kualitas. Efek dari hal ini adalah tidak
mampunya produk dan jasa sebagai hasil dari UKM untuk menembus pasar ekspor.
Namun, di sisi lain, terdapat pula produk atau jasa yang berpotensial untuk
bertarung di pasar internasional karena tidak memiliki jalur ataupun akses
terhadap pasar tersebut, pada akhirnya hanya beredar di pasar domestik.
2.8 Langkah Penanggulangan Masalah
Dengan mencermati permasalahan yang dihadapi oleh UKM dan langkah-langkah yang
selama ini telah ditempuh, maka kedepannya, perlu diupayakan hal-hal sebagai
berikut:
1. Penciptaan Iklim Usaha yang Kondusif
Pemerintah perlu mengupayakan terciptanya iklim yang kondusif antara lain
dengan mengusahakan ketenteraman dan keamanan berusaha serta penyederhanaan
prosedur perijinan usaha, keringanan pajak dan sebagainya.
2. Bantuan Permodalan
Pemerintah perlu memperluas skema kredit khusus dengan syarat-syarat yang tidak
memberatkan bagi UKM, untuk membantu peningkatan permodalannya, baik itu
melalui sektor jasa finansial formal, sektor jasa finansial informal, skema
penjaminan, leasing dan dana modal ventura. Pembiayaan untuk UKM sebaiknya
menggunakan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang ada maupun non bank. Lembaga
Keuangan Mikro bank antara Lain: BRI unit Desa dan Bank Perkreditan Rakyat
(BPR).
3. Perlindungan Usaha
Jenis-jenis usaha tertentu, terutama jenis usaha tradisional yang merupakan
usaha golongan ekonomi lemah, harus mendapatkan perlindungan dari pemerintah,
baik itu melalui undang-undang maupun peraturan pemerintah yang bermuara kepada
saling menguntungkan (win-win solution).
4. Pengembangan Kemitraan
Perlu dikembangkan kemitraan yang saling membantu antar UKM, atau antara UKM
dengan pengusaha besar di dalam negeri maupun di luar negeri, untuk
menghindarkan terjadinya monopoli dalam usaha. Selain itu, juga untuk
memperluas pangsa pasar dan pengelolaan bisnis yang lebih efisien. Dengan
demikian, UKM akan mempunyai kekuatan dalam bersaing dengan pelaku bisnis
lainnya, baik dari dalam maupun luar negeri.
BAB
III
PENUTUP
a.
Kesimpulan
Usaha
Kecil dan Menengah (UKM) mempunyai peran yang strategis dalam pembangunan
ekonomi nasional, oleh karena selain berperan dalam pertumbuhan ekonomi dan
penyerapan tenaga kerja juga berperan dalam pendistribusian hasil-hasil
pembangunan. Dalam krisis ekonomi yang terjadi di negara kita sejak beberapa
waktu yang lalu, dimana banyak usaha berskala besar yang mengalami stagnasi
bahkan berhenti aktifitasnya, sektor Usaha Kecil dan Menengah (UKM) terbukti
lebih tangguh dalam menghadapi krisis tersebut. Mengingat pengalaman yang telah
dihadapi oleh Indonesia selama krisis, kiranya tidak berlebihan apabila
pengembangan sektor swasta difokuskan pada UKM, terlebih lagi unit usaha ini
seringkali terabaikan hanya karena hasil produksinya dalam skala kecil dan belum
mampu bersaing dengan unit usaha lainnya.
Pengembangan UKM perlu mendapatkan perhatian yang
besar baik dari pemerintah maupun masyarakat agar dapat berkembang lebih
kompetitif bersama pelaku ekonomi lainnya. Kebijakan pemerintah ke depan perlu
diupayakan lebih kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya UKM. Pemerintah perlu
meningkatkan perannya dalam memberdayakan UKM disamping mengembangkan kemitraan
usaha yang saling menguntungkan antara pengusaha besar dengan pengusaha kecil,
dan meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusianya.
Pengembangan terhadap sektor swasta merupakan suatu
hal yang tidak diragukan lagi perlu untuk dilakukan. UKM memiliki peran penting
dalam pengembangan usaha di Indonesia. UKM juga merupakan cikal bakal dari
tumbuhnya usaha besar. “Hampir semua usaha besar berawal dari UKM. Usaha kecil
menengah (UKM) harus terus ditingkatkan (up grade) dan aktif agar dapat maju
dan bersaing dengan perusahaan besar. Jika tidak, UKM di Indonesia yang
merupakan jantung perekonomian Indonesia tidak akan bisa maju dan berkembang.
Satu hal yang perlu diingat dalam pengembangan UKM adalah bahwa langkah ini
tidak semata-mata merupakan langkah yang harus diambil oleh Pemerintah dan
hanya menjadi tanggung jawab Pemerintah. Pihak UKM sendiri sebagai pihak yang
dikembangkan, dapat mengayunkan langkah bersama-sama dengan Pemerintah. Selain
Pemerintah dan UKM, peran dari sektor Perbankan juga sangat penting terkait
dengan segala hal mengenai pendanaan, terutama dari sisi pemberian pinjaman
atau penetapan kebijakan perbankan. Lebih jauh lagi, terkait dengan
ketersediaan dana atau modal, peran dari para investor baik itu dari dalam
maupun luar negeri, tidak dapat pula kita kesampingkan.
Pemerintah pada intinya memiliki kewajiban untuk turut memecahkan tiga hal
masalah klasik yang kerap kali menerpa UKM, yakni akses pasar, modal, dan
teknologi yang selama ini kerap menjadi pembicaraan di seminar atau konferensi.
Secara keseluruhan, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
melakukan pengembangan terhadap unit usaha UKM, antara lain kondisi kerja,
promosi usaha baru, akses informasi, akses pembiayaan, akses pasar, peningkatan
kualitas produk dan SDM, ketersediaan layanan pengembangan usaha, pengembangan
cluster, jaringan bisnis, dan kompetisi.
Perlu disadari, UKM berada dalam suatu lingkungan yang
kompleks dan dinamis. Jadi, upaya mengembangkan UKM tidak banyak berarti bila
tidak mempertimbangkan pembangunan (khususnya ekonomi) lebih luas. Konsep
pembangunan yang dilaksanakan akan membentuk ‘aturan main’ bagi pelaku usaha
(termasuk UKM) sehingga upaya pengembangan UKM tidak hanya bisa dilaksanakan
secara parsial, melainkan harus terintegrasi dengan pembangunan ekonomi
nasional dan dilaksanakan secara berkesinambungan. Kebijakan ekonomi (terutama
pengembangan dunia usaha) yang ditempuh selama ini belum menjadikan ikatan kuat
bagi terciptanya keterkaitan antara usaha besar dan UKM.
b. Saran
Bagi pembaca yang telah membaca makalah ini dan ingin membahas kasus yang sama
degan makalah ini, maka penulis mengharapkan agar lebih memperjelas dan lebih
memperdalam apa pengaruh
kredit Usaha Kecil Menengah (UKM) terhadap perekonomian masyarakat Indonesia
bila di tinjau dari sudut pandang ekonomi
teknik.
DAFTAR
PUSTAKA
http://www.askep.net/pdf/bab-i-pendahuluan-pengaruh-kredit-ukm-terhadap-perekonomian-masyarakat.html
http://infoukm.wordpress.com/2008/08/
http://id.wikipedia.org/wiki/Usaha_Kecil_dan_Menengah
http://www.danabergulir.com/layanan/skim-pinjaman-pembiayaan/pembiayaan-kepada-koperasi-dan-usaha-kecil-dan-menengah-kukm-melalui-perusahaan-modal-ventura-pmv
http://id.wikipedia.org/wiki/Usaha_Kecil_dan_Menengah
http://www.danabergulir.com/layanan/skim-pinjaman-pembiayaan/pembiayaan-kepada-koperasi-dan-usaha-kecil-dan-menengah-kukm-melalui-perusahaan-modal-ventura-pmv