Disney Minnie Mouse

Minggu, 28 April 2013

SAJAK PULAU BALI


Sebab percaya akan keampuhan  industri
dan yakin bisa memupuk modal nasional
dari kesenian dan keindahan alam,
maka Bali menjadi obyek pariwisata.
Betapapun :
tanpa basa-basi keyakinan seperti itu,
Bali harus dibuka untuk pariwisata.
Sebab :
pesawat-pesawat terbang jet sudah dibikin,
dan maskapai penerbangan harus berjalan.
Harus ada orang-orang untuk diangkut.
Harus diciptakan tempat tujuan untuk dijual.
Dan waktu senggang manusia,
serta masa berlibur untuk keluarga,
harus bisa direbut oleh maskapai
untuk diindustrikan.
Dan Bali,
dengan segenap kesenian,
kebudayaan, dan alamnya,
harus bisa diringkaskan,
untuk dibungkus dalam kertas kado,
dan disuguhkan pada pelancong.
Pesawat terbang jet di tepi rimba Brazilia,
di muka perkemahan kaum Badui,
di sisi mana pun yang tak terduga,
lebih mendadak dari mimpi,
merupakan kejutan kebudayaan.
Inilah satu kekuasaan baru.
Begitu cepat hingga kita terkesiap.
Begitu lihai sehingga kita terkesima.
Dan sementara kita bengong,
pesawat terbang jet yang muncul dari mimipi,
membawa bentuk kekuatan modalnya :
lapangan terbang. “hotel – bistik – dan – coca cola”,
jalan raya, dan para pelancong.
“Oh, look, honey – dear !
Lihat orang-orang pribumi itu!
Mereka memanjat pohon kelapa seperti kera.
Fantastic ! Kita harus memotretnya !
…………………………..
Awas ! Jangan dijabat tangannya !
senyum saja and say hello.
You see, tangannya kotor
Siapa tahu ada telor cacing di situ.
…………………….
My God, alangkah murninya mereka.
Ia tidak menutupi teteknya !
Look, John, ini benar-benar tetek.
Lihat yang ini ! O, sempurna !
Mereka bebas dan spontan.
Aku ingin seperti mereka…..
Eh, maksudku…..
Okey ! Okey !….Ini hanya pengandaian saja.
Aku tahu kamu melarang aku tanpa beha.
Look, now, John, jangan cemberut !
Berdirilah di sampingnya,
aku potret di sini.
Ah ! Fabolous !”
Dan Bank Dunia
selalu tertarik membantu negara miskin
untuk membuat proyek raksasa.
Artinya : yang 90 % dari bahannya harus diimpor.
Dan kemajuan kita
adalah kemajuan budak
atau kemajuan penyalur dan pemakai.
Maka di Bali
hotel-hotel pribumi bangkrut
digencet oleh packaged tour.
Kebudayaan rakyat ternoda
digencet standar dagang internasional.
Tari-tarian bukan lagi satu mantra,
tetapi hanya sekedar tontonan hiburan.
Pahatan dan ukiran  bukan lagi ungkapan jiwa,
tetapi hanya sekedar kerajinan tangan.
Hidup dikuasai kehendak manusia,
tanpa menyimak jalannya alam.
Kekuasaan kemauan manusia,
yang dilembagakan dengan kuat,
tidak mengacuhkan naluri ginjal,
hati, empedu, sungai, dan hutan.
Di Bali :
pantai, gunung, tempat tidur dan pura,
telah dicemarkan

SAJAK POTRET KELUARGA

                                                      Tanggal lima belas tahun rembulan.
Wajah molek bersolek di angkasa.
Kemarau dingin jalan berdebu.
Ular yang lewat dipagut naga.
Burung tekukur terpisah dari sarangnya.
Kepada rekannya berkatalah suami itu :
“Semuanya akan beres. Pasti beres.
Mengeluhkan keadaan tak ada gunanya.
Kesukaran selalu ada.
Itulah namanya kehidupan.
Apa yang kita punya sudah lumayan.
Asal keluarga sudah terjaga,
rumah dan mobil juga ada,
apa palgi yang diruwetkan ?
Anak-anak dengan tertib aku sekolahkan.
Yang putri di SLA, yang putra mahasiswa.
Di rumah ada TV, anggrek,
air conditioning, dan juga agama.
Inilah kesejahteraan yang harus dibina.
Kita mesti santai.
Hanya orang edan sengaja mencari kesukaran.
Memprotes keadaaan, tidak membawa perubahan.
Salah-salah malah hilang jabatan.”
………
Tanggal lima belas tahun rembulan
Angin kemarau tergantung di blimbing berkembang.
Malam disambut suara halus dalam rumputan.
Anjing menjenguk keranjang sampah.
Kucing berjalan di bubungan atap.
Dan ketonggeng menunggu di bawah batu.
Isri itu duduk di muka kaca dan berkata :
“Hari-hari mengalir seperti sungai arak.
Udara penuh asap candu.
Tak ada yang jelas di dalam kehidupan.
Peristiwa melayang-layang bagaikan bayangan.
Tak ada yang bisa diambil pegangan.
Suamiku asyik dengan mobilnya
padahal hidupnya penuh utang.
Semakin kaya semakin banyak pula utangnya.
Uang sekolah anak-anak selalu lambat dibayar.
Ya, Tuhan, apa yang terjadi pada anak-anakku.
Apakah jaminan pendidikannya ?
Ah, Suamiku !
Dahulu ketika remaja hidupnya sederhana,
pikirannya jelas pula.
Tetapi kini serba tidak kebenaran.
Setiap barang membuatnya berengsek.
Padahal harganya mahal semua.
TV Selalu dibongkar.
Gambar yang sudah jelas juga masih dibenar-benarkan.
Akhirnya tertidur…….
Sementara TV-nya membuat kegaduhan.
Tak ada lagi yang bisa menghiburnya.
Gampang marah soal mobil
Gampang pula kambuh bludreknya
Makanan dengan cermat dijaga
malahan kena sakit gula.
Akulah yang selalu kena luapan.
Ia marah karena tak berdaya.
Ia menyembunyikan kegagalam.
Ia hanyut di dalam kemajuan zaman.
Tidak gagah. Tidak berdaya melawannya !”
…………………………………..
Tanggal lima belas tahun rembulan.
Tujuh unggas tidur di pohon nangka
Sedang di tanah ular mencari mangsa.
Berdesir-desir bunyi kali dikejauhan.
Di tebing yang landai tidurlah buaya.
Di antara batu-batu dua ketam bersenggama.
Sang Putri yang di SLA, berkata :
“Kawinilah aku. Buat aku mengandung.
Bawalah aku pergi. Jadikanlah aku babu.
Aku membenci duniaku ini.
Semuanya serba salah, setiap orang gampang marah.
Ayah gampang marah lantaran mobil dan TV
Ibu gampang marah lantaran tak berani marah kepada ayah.
Suasana tegang di dalam rumah
meskipun rapi perabotannya.
Aku yakin keluargaku mencintaiku.
Tetapi semuanya ini untuk apa ?
Untuk apa hidup keluargaku ini ?
Apakah ayah hidup untuk mobil dan TV ?
Apakah ibu hidup karena tak punya pilihan ?
Dan aku ? Apa jadinya aku nanti ?
Tiga belas tahun aku belajar di sekolah.
Tetapi belum juga mampu berdiri sendiri.
Untuk apakah kehidupan kami ini ?
Untuk makan ? Untuk baca komik ?
Untuk apa ?
Akhirnya mendorong untuk tidak berbuat apa-apa !
Kemacetan mencengkeram hidup kami.
Kakasihku, temanilah aku merampok Bank.
Pujaanku, suntikkan morpin ini ke urat darah di tetekku “
………………………………………
Tanggal lima belas tahun rembulan.
Atap-atap rumah nampak jelas bentuknya
di bawah cahaya bulan.
Sumur yang sunyi menonjol di bawah dahan.
Akar bambu bercahaya pospor.
Keleawar terbang menyambar-nyambar.
Seekor kadal menangkap belalang.
Sang Putra, yang mahasiswa, menulis surat dimejanya :
“ Ayah dan ibu yang terhormat,
aku pergi meninggalkan rumah ini.
Cinta kasih cukup aku dapatkan.
Tetapi aku menolak cara hidup ayah dan ibu.
Ya, aku menolak untuk mendewakan harta.
Aku menolak untuk mengejar kemewahan,
tetapi kehilangan kesejahteraan.
Bahkan kemewahan yang ayah punya
tidak juga berarti kemakmuran.
Ayah berkata : “santai, santai ! “
tetapi sebenarnya ayah hanyut
dibawa arus jorok keadaan
Ayah hanya punya kelas,
tetapi tidak punya kehormatan.
Kenapa ayah berhak mendapatkan kemewahan yang sekarang ayah miliki ini?
Hasil dari bekerja ? Bekerja apa ?
Apakh produksi dan jasa seorang birokrat yang korupsi ?
Seorang petani lebih produktip daripada ayah.
Seorang buruh lebih punya jasa yang nyata.
Ayah hanya bisa membuat peraturan.
Ayah hanya bisa tunduk pada atasan.
Ayah hanya bisa mendukung peraturan yang memisahkan rakyat dari penguasa.
Ayah tidak produktip melainkan destruktip.
Namun toh ayah mendapat gaji besar !
Apakah ayah pernah memprotes ketidakadilan ?
tidak pernah, bukan ?
Terlalu beresiko, bukan ?
Apakah aku harus mencontoh ayah ?
Sikap hidup ayah adalah pendidikan buruk bagi jiwaku.
Ayah dan ibu, selamat tinggal.
Daya hidupku menolak untuk tidak berdaya. “

SAJAK PERTEMUAN MAHASISWA

                                                                Matahari terbit pagi ini
mencium bau kencing orok di kaki langit,
melihat kali coklat menjalar ke lautan,
dan mendengar dengung lebah di dalam hutan.
Lalu kini ia dua penggalah tingginya.
Dan ia menjadi saksi kita berkumpul di sini
memeriksa keadaan.
Kita bertanya :
Kenapa maksud baik tidak selalu berguna.
Kenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlaga.
Orang berkata “ Kami ada maksud baik “
Dan kita bertanya : “ Maksud baik untuk siapa ?”
Ya ! Ada yang jaya, ada yang terhina
Ada yang bersenjata, ada yang terluka.
Ada yang duduk, ada yang diduduki.
Ada yang berlimpah, ada yang terkuras.
Dan kita di sini bertanya :
“Maksud baik saudara untuk siapa ?
Saudara berdiri di pihak yang mana ?”
Kenapa maksud baik dilakukan
tetapi makin banyak petani yang kehilangan tanahnya.
Tanah-tanah di gunung telah dimiliki orang-orang kota.
Perkebunan yang luas
hanya menguntungkan segolongan kecil saja.
Alat-alat kemajuan yang diimpor
tidak cocok untuk petani yang sempit tanahnya.
Tentu kita bertanya :
“Lantas maksud baik saudara untuk siapa ?”
Sekarang matahari, semakin tinggi.
Lalu akan bertahta juga di atas puncak kepala.
Dan di dalam udara yang panas kita juga bertanya :
Kita ini dididik untuk memihak yang mana ?
Ilmu-ilmu yang diajarkan di sini
akan menjadi alat pembebasan,
ataukah alat penindasan ?
Sebentar lagi matahari akan tenggelam.
Malam akan tiba.
Cicak-cicak berbunyi di tembok.
Dan rembulan akan berlayar.
Tetapi pertanyaan kita tidak akan mereda.
Akan hidup di dalam bermimpi.
Akan tumbuh di kebon belakang.
Dan esok hari
matahari akan terbit kembali.
Sementara hari baru menjelma.
Pertanyaan-pertanyaan kita menjadi hutan.
Atau masuk ke sungai
menjadi ombak di samodra.
Di bawah matahari ini kita bertanya :
Ada yang menangis, ada yang mendera.
Ada yang habis, ada yang mengikis.
Dan maksud baik kita
berdiri di pihak yang mana !

SAJAK PEPERANGAN ABIMANYU


Ketika maut mencegatnya di delapan penjuru.
Sang ksatria berdiri dengan mata bercahaya.
Hatinya damai,
di dalam dadanya yang bedah dan berdarah,
karena ia telah lunas
menjalani kewjiban dan kewajarannya.
Setelah ia wafat
apakah petani-petani akan tetap menderita,
dan para wanita kampung
tetap membanjiri rumah pelacuran di kota ?
Itulah pertanyaan untuk kita yang hidup.
Tetapi bukan itu yang terlintas di kepalanya
ketika ia tegak dengan tubuh yang penuh luka-luka.
Saat itu ia mendengar
nyanyian angin dan air yang turun dari gunung.
Perjuangan adalah satu pelaksanaan cita dan rasa.
Perjuangan adalah pelunasan kesimpulan penghayatan.
Di saat badan berlumur darah,
jiwa duduk di atas teratai.
Ketika ibu-ibu meratap
dan mengurap rambut mereka dengan debu,
roh ksatria bersetubuh dengan cakrawala
untuk menanam benih
agar nanti terlahir para pembela rakyat tertindas
– dari zaman ke zaman

SAJAK ORANG KEPANASAN


Karena kami makan akar
dan terigu menumpuk di gudangmu
Karena kami hidup berhimpitan
dan ruangmu berlebihan
maka kami bukan sekutu
Karena kami kucel
dan kamu gemerlapan
Karena kami sumpek
dan kamu mengunci pintu
maka kami mencurigaimu
Karena kami telantar dijalan
dan kamu memiliki semua keteduhan
Karena kami kebanjiran
dan kamu berpesta di kapal pesiar
maka kami tidak menyukaimu
Karena kami dibungkam
dan kamu nyerocos bicara
Karena kami diancam
dan kamu memaksakan kekuasaan
maka kami bilang : TIDAK kepadamu
Karena kami tidak boleh memilih
dan kamu bebas berencana
Karena kami semua bersandal
dan kamu bebas memakai senapan
Karena kami harus sopan
dan kamu punya penjara
maka TIDAK dan TIDAK kepadamu
Karena kami arus kali
dan kamu batu tanpa hati
maka air akan mengikis batu

SAJAK MATA-MATA


Ada suara bising di bawah tanah.
Ada suara gaduh di atas tanah.
Ada ucapan-ucapan kacau di antara rumah-rumah.
Ada tangis tak menentu di tengah sawah.
Dan, lho, ini di belakang saya
ada tentara marah-marah.
Apaa saja yang terjadi ? Aku tak tahu.
Aku melihat kilatan-kilatan api berkobar.
Aku melihat isyarat-isyarat.
Semua tidak jelas maknanya.
Raut wajah yang sengsara, tak bisa bicara,
menggangu pemandanganku.
Apa saja yang terjadi ? Aku tak tahu.
Pendengaran dan penglihatan
menyesakkan perasaan,
membuat keresahan –
Ini terjadi karena apa-apa yang terjadi
terjadi tanpa kutahu telah terjadi.
Aku tak tahu. Kamu tak tahu.
Tak ada yang tahu.
Betapa kita akan tahu,
kalau koran-koran ditekan sensor,
dan mimbar-mimbar yang bebas telah dikontrol.
Koran-koran adalah penerusan mata kita.
Kini sudah diganti mata yang resmi.
Kita tidak lagi melihat kenyataan yang beragam.
Kita hanya diberi gambara model keadaan
yang sudah dijahit oleh penjahit resmi.
Mata rakyat sudah dicabut.
Rakyat meraba-raba di dalam kasak-kusuk.
Mata pemerintah juga diancam bencana.
Mata pemerintah memakai kacamata hitam.
Terasing di belakang meja kekuasaan.
Mata pemerintah yang sejati
sudah diganti mata-mata.
Barisan mata-mata mahal biayanya.
Banyak makannya.
Sukar diaturnya.
Sedangkan laporannya
mirp pandangan mata kuda kereta
yang dibatasi tudung mata.
Dalam pandangan yang kabur,
semua orang marah-marah.
Rakyat marah, pemerinta marah,
semua marah lantara tidak punya mata.
Semua mata sudah disabotir.
Mata yangbebas beredar hanyalah mata-mata.

SAJAK MATAHARI


Matahari bangkit dari sanubariku.
Menyentuh permukaan samodra raya.
Matahari keluar dari mulutku,
menjadi pelangi di cakrawala.
Wajahmu keluar dari jidatku,
wahai kamu, wanita miskin !
kakimu terbenam di dalam lumpur.
Kamu harapkan beras seperempat gantang,
dan di tengah sawah tuan tanah menanammu !
Satu juta lelaki gundul
keluar dari hutan belantara,
tubuh mereka terbalut lumpur
dan kepala mereka berkilatan
memantulkan cahaya matahari.
Mata mereka menyala
tubuh mereka menjadi bara
dan mereka membakar dunia.
Matahri adalah cakra jingga
yang dilepas tangan Sang Krishna.
Ia menjadi rahmat dan kutukanmu,
ya, umat manusia !

SAJAK KENALAN LAMAMU


Kini kita saling berpandangan saudara.
Ragu-ragu apa pula,
kita memang pernah berjumpa.
Sambil berdiri di ambang pintu kereta api,
tergencet oleh penumpang berjubel,
Dari Yogya ke Jakarta,
aku melihat kamu tidur di kolong bangku,
dengan alas kertas koran,
sambil memeluk satu anakmu,
sementara istrimu meneteki bayinya,
terbaring di sebelahmu.
Pernah pula kita satu truk,
duduk di atas kobis-kobis berbau sampah,
sambil meremasi tetek tengkulak sayur,
dan lalu sama-sama kaget,
ketika truk tiba-tiba terhenti
kerna distop oleh polisi,
yang menarik pungutan tidak resmi.
Ya, saudara, kita sudah sering berjumpa,
kerna sama-sama anak jalan raya.
……………………………
Hidup macam apa ini !
Orang-orang dipindah kesana ke mari.
Bukan dari tujuan ke tujuan.
Tapi dari keadaan ke keadaan yang tanpa perubahan.
…………………….
Kini kita bersandingan, saudara.
Kamu kenal bau bajuku.
Jangan kamu ragu-ragu,
kita memang pernah bertemu.
Waktu itu hujan rinai.
Aku menarik sehelai plastik dari tong sampah
tepat pada waktu kamu juga menariknya.
Kita saling berpandangan.
Kamu menggendong anak kecil di punggungmu.
Aku membuka mulut,
hendak berkata sesuatu……
Tak sempat !
Lebih dulu tinjumu melayang ke daguku…..
Dalam pandangan mata berkunang-kunang,
aku melihat kamu
membawa helaian plastik itu
ke satu gubuk karton.
Kamu lapiskan ke atap gubugmu,
dan lalu kamu masuk dengan anakmu…..
Sebungkus nasi yang dicuri,
itulah santapan.
Kolong kios buku di terminal
itulah peraduan.
Ya, saudara-saudara, kita sama-sama kenal ini,
karena kita anak jadah bangsa yang mulia.
………………….
Hidup macam apa hidup ini.
Di taman yang gelap orang menjual badan,
agar mulutnya tersumpal makan.
Di hotel yang mewah istri guru menjual badan
agar pantatnya diganjal sedan.
……………..
Duabelas pasang payudara gemerlapan,
bertatahkan intan permata di sekitar putingnya.
Dan di bawah semuanya,
celana dalam sutera warna kesumba.
Ya, saudara,
Kita sama-sama tertawa mengenang ini semua.
Ragu-ragu apa pula
kita memang pernah berjumpa.
Kita telah menyaksikan,
betapa para pembesar
menjilati selangkang wanita,
sambil kepalanya diguyur anggur.
Ya, kita sama-sama germo,
yang menjahitkan jas di Singapura
mencat rambut di pangkuan bintang film,
main golf, main mahyong,
dan makan kepiting saus tiram di restoran terhormat.
………..
Hidup dalam khayalan,
hidup dalam kenyataan……
tak ada bedanya.
Kerna khayalan dinyatakan,
dan kenyataan dikhayalkan,
di dalam peradaban fatamorgana.
……….
Ayo, jangan lagi sangsi,
kamu kenal suara batukku.
Kamu lihat lagi gayaku meludah di trotoar.
Ya, memang aku. Temanmu dulu.
Kita telah sama-sama mencuri mobil ayahmu
bergiliran meniduri gula-gulanya,
dan mengintip ibumu main serong
dengan ajudan ayahmu.
Kita telah sama-sama beli morphin dari guru kita.
Menenggak valium yang disediakan oleh dokter untuk ibumu,
dan akhirnya menggeletak di emper tiko,
di samping kere di Malioboro.
Kita alami semua ini,
kerna kita putra-putra dewa di dalam masyarakat kita.
…..
Hidup melayang-layang.
Selangit,
melayang-layang.
Kekuasaan mendukung kita serupa ganja…..
meninggi…. Ke awan……
Peraturan dan hukuman,
kitalah yang empunya.
Kita tulis dengan keringat di ketiak,
di atas sol sepatu kita.
Kitalah gelandangan kaya,
yang perlu meyakinkan diri
dengan pembunuhan.
………..
Saudara-saudara, kita sekarang berjabatan.
Kini kita bertemu lagi.
Ya, jangan kamu ragu-ragu,
kita memang pernah bertemu.
Bukankah tadi telah kamu kenal
betapa derap langkahku ?
Kita dulu pernah menyetop lalu lintas,
membakari mobil-mobil,
melambaikan poster-poster,
dan berderap maju, berdemonstrasi.
Kita telah sama-sama merancang strategi
di panti pijit dan restoran.
Dengan arloji emas,
secara teliti kita susun jadwal waktu.
Bergadang, berunding di larut kelam,
sambil mendekap hostess di kelab malam.
Kerna begitulah gaya pemuda harapan bangsa.
Politik adalah cara merampok dunia.
Politk adalah cara menggulingkan kekuasaan,
untuk menikmati giliran berkuasa.
Politik adalah tangga naiknya tingkat kehidupan.
dari becak ke taksi, dari taksi ke sedan pribadi
lalu ke mobil sport, lalu : helikopter !
Politik adalah festival dan pekan olah raga.
Politik adalah wadah kegiatan kesenian.
Dan bila ada orang banyak bacot,
kita cap ia sok pahlawan.
………………………..
Dimanakah kunang-kunag di malam hari ?
Dimanakah trompah kayu di muka pintu ?
Di hari-hari yang berat,
aku cari kacamataku,
dan tidak ketemu.
………………
Ya, inilah aku ini !
Jangan lagi sangsi !
Inilah bau ketiakku.
Inilah suara batukku.
Kamu telah menjamahku,
jangan lagi kamu ragau.
Kita telah sama-sama berdiri di sini,
melihat bianglala berubah menjadi lidah-lidah api,
gunung yang kelabu membara,
kapal terbang pribadi di antara mega-mega meneteskan air mani
di putar blue-film di dalamnya.
…………………
Kekayaan melimpah.
Kemiskinan melimpah.
Darah melimpah.
Ludah menyembur dan melimpah.
Waktu melanda dan melimpah.
Lalu muncullah banjir suara.
Suara-suara di kolong meja.
Suara-suara di dalam lacu.
Suara-suara di dalam pici.
Dan akhirnya
dunia terbakar oleh tatawarna,
Warna-warna nilon dan plastik.
Warna-warna seribu warna.
Tidak luntur semuanya.
Ya, kita telah sama-sama menjadi saksi
dari suatu kejadian,
yang kita tidak tahu apa-apa,
namun lahir dari perbuatan kita.

Makna sebuah titipan


Sering kali aku berkata, ketika orang memuji milikku,
bahwa sesungguhnya ini hanya titipan,
bahwa mobilku hanya titipan Nya,
bahwa rumahku hanya titipan Nya,
bahwa hartaku hanya titipan Nya,
bahwa putraku hanya titipan Nya,
tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya, mengapa Dia menitipkan
padaku?
Untuk apa Dia menitipkan ini pada ku?
Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik Nya
ini?
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?
Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta
kembali oleh-Nya ?
Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah
kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka,
kusebut dengan panggilan apa saja untuk melukiskan bahwa itu
adalah derita.
Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku,
aku ingin lebih banyak harta,
ingin lebih banyak mobil,
lebih banyak rumah,
lebih banyak popularitas,
dan kutolak sakit, kutolak kemiskinan,
Seolah semua “derita” adalah hukuman bagiku.
Seolah keadilan dan kasih Nya harus berjalan seperti matematika :
aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku, dan
Nikmat dunia kerap menghampiriku.
Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan Kekasih.
Kuminta Dia membalas “perlakuan baikku”, dan menolak
keputusanNya yang tak sesuai keinginanku,
Gusti, padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanyalah
untuk beribadah…
“ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama
saja”

Perempuan yang Tergusur


Hujan lebat turun di hulu subuh
disertai angin gemuruh
yang menerbangkan mimpi
yang lalu tersangkut di ranting pohon
Aku terjaga dan termangu
menatap rak buku-buku
mendengar hujan menghajar dinding
rumah kayuku.
Tiba-tiba pikiran mengganti mimpi
dan lalu terbayanglah wajahmu,
wahai perempupan yang tergusur!
Tanpa pilihan
ibumu mati ketika kamu bayi
dan kamu tak pernah tahu siapa ayahmu.
Kamu diasuh nenekmu yang miskin di desa.
Umur enam belas kamu dibawa ke kota
oleh sopir taxi yang mengawinimu.
Karena suka berjudi
ia menambah penghasilan sebagai germo.
Ia paksa kamu jadi primadona pelacurnya.
Bila kamu ragu dan murung,
lalu kurang setoran kamu berikan,
ia memukul kamu babak belur.
Tapi kemudian ia mati ditembak tentara
ketika ikut demontrasi politik
sebagai demonstran bayaran.
Sebagai janda yang pelacur
kamu tinggal di gubuk tepi kali
dibatas kota
Gubernur dan para anggota DPRD
menggolongkanmu sebagai tikus got
yang mengganggu peradaban.
Di dalam hukum positif tempatmu tidak ada.
Jadi kamu digusur.
Didalam hujuan lebat pagi ini
apakah kamu lagi berjalan tanpa tujuan
sambhil memeluk kantong plastik
yang berisi sisa hartamu?
Ataukah berteduh di bawah jembatan?
Impian dan usaha
bagai tata rias yang luntur oleh hujan
mengotori wajahmu.
kamu tidak merdeka.
Kamu adalah korban tenung keadaan.
Keadilan terletak diseberang highway yang bebahaya
yang tak mungkin kamu seberangi.
Aku tak tahu cara seketika untuk membelamu.
Tetapi aku memihak kepadamu.
Dengan sajak ini bolehkan aku menyusut keringat dingin
di jidatmu?
O,cendawan peradaban!
O, teka-teki keadilan!
Waktu berjalan satu arah saja.
Tetapi ia bukan garis lurus.
Ia penuh kelokan yang mengejutkan,
gunung dan jurang yang mengecilkan hati,
Setiap kali kamu lewati kelokan yang berbahaya
puncak penderitaan yang menyakitkan hati,
atau tiba di dasar jurang yang berlimbah lelah,
selalu kamu dapati kedudukan yang tak berubah,
ialah kedudukan kaum terhina.
Tapi aku kagum pada daya tahanmu,
pada caramu menikmati setiap kesempatan,
pada kemampuanmu berdamai dengan dunia,
pada kemampuanmu berdamai dengan diri sendiri,
dan caramu merawat selimut dengan hati-hati.
Ternyata di gurun pasir kehidupan yang penuh bencana
semak yang berduri bisa juga berbunga.
Menyaksikan kamu tertawa
karena melihat ada kelucuan di dalam ironi,
diam-diam aku memuja kamu di hati ini.

SAJAK BULAN MEI 1998 DI INDONESIA


Aku tulis sajak ini di bulan gelap raja-raja
Bangkai-bangkai tergeletak lengket di aspal jalan
Amarah merajalela tanpa alamat
Kelakuan muncul dari sampah kehidupan
Pikiran kusut membentur simpul-simpul sejarah
O, zaman edan!
O, malam kelam pikiran insan!
Koyak moyak sudah keteduhan tenda kepercayaan
Kitab undang-undang tergeletak di selokan
Kepastian hidup terhuyung-huyung dalam comberan
O, tatawarna fatamorgana kekuasaan!
O, sihir berkilauan dari mahkota raja-raja!
Dari sejak zaman Ibrahim dan Musa
Allah selalu mengingatkan
bahwa hukum harus lebih tinggi
dari ketinggian para politisi, raja-raja, dan tentara
O, kebingungan yang muncul dari kabut ketakutan!
O, rasa putus asa yang terbentur sangkur!
Berhentilah mencari Ratu Adil!
Ratu Adil itu tidak ada. Ratu Adil itu tipu daya!
Apa yang harus kita tegakkan bersama
adalah Hukum Adil
Hukum Adil adalah bintang pedoman di dalam prahara
Bau anyir darah yang kini memenuhi udara
menjadi saksi yang akan berkata:
Apabila pemerintah sudah menjarah Daulat Rakyat
apabila cukong-cukong sudah menjarah ekonomi bangsa
apabila aparat keamanan sudah menjarah keamanan
maka rakyat yang tertekan akan mencontoh penguasa
lalu menjadi penjarah di pasar dan jalan raya
Wahai, penguasa dunia yang fana!
Wahai, jiwa yang tertenung sihir tahta!
Apakah masih buta dan tuli di dalam hati?
Apakah masih akan menipu diri sendiri?
Apabila saran akal sehat kamu remehkan
berarti pintu untuk pikiran-pikiran kalap
yang akan muncul dari sudut-sudut gelap
telah kamu bukakan!
Cadar kabut duka cita menutup wajah Ibu Pertiwi
Airmata mengalir dari sajakku ini.
Sajak ini dibuat di Jakarta pada tanggal 17 Mei 1998 dan
dibacakan Rendra di DPR pada tanggal 18 Mei 1998

Jumat, 26 April 2013

Aku Tulis Pamplet Ini


Aku tulis pamplet ini
karena lembaga pendapat umum
ditutupi jaring labah-labah
Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk,
dan ungkapan diri ditekan
menjadi peng – iya – an

Apa yang terpegang hari ini
bisa luput besok pagi
Ketidakpastian merajalela.
Di luar kekuasaan kehidupan menjadi teka-teki
menjadi marabahaya
menjadi isi kebon binatang

Apabila kritik hanya boleh lewat saluran resmi,
maka hidup akan menjadi sayur tanpa garam
Lembaga pendapat umum tidak mengandung pertanyaan.
Tidak mengandung perdebatan
Dan akhirnya menjadi monopoli kekuasaan

Aku tulis pamplet ini
karena pamplet bukan tabu bagi penyair
Aku inginkan merpati pos.
Aku ingin memainkan bendera-bendera semaphore di tanganku
Aku ingin membuat isyarat asap kaum Indian.

Aku tidak melihat alasan
kenapa harus diam tertekan dan termangu.
Aku ingin secara wajar kita bertukar kabar.
Duduk berdebat menyatakan setuju dan tidak setuju.

Kenapa ketakutan menjadi tabir pikiran ?
Kekhawatiran telah mencemarkan kehidupan.
Ketegangan telah mengganti pergaulan pikiran yang merdeka.

Matahari menyinari airmata yang berderai menjadi api.
Rembulan memberi mimpi pada dendam.
Gelombang angin menyingkapkan keluh kesah

yang teronggok bagai  sampah
Kegamangan. Kecurigaan.
Ketakutan.
Kelesuan.

Aku tulis pamplet ini
karena kawan dan lawan adalah saudara
Di dalam alam masih ada cahaya.
Matahari yang tenggelam diganti rembulan.
Lalu besok pagi pasti terbit kembali.
Dan di dalam air lumpur kehidupan,
aku melihat bagai terkaca :
ternyata kita, toh, manusia !

52. Organisasi Masyarakat Sipil Yang Terdiri Dari LSM,ORMAS dan Organisasi Mahasiswa



Kami Peserta yang hadir pada pertemuan dengan Tim Mediasi yang dibentuk oleh Menteri Kehutanan RI berdasarkan SK 736/Menhut-II/2011 telah melakukan pertemuan pada hari Kamis, 05 Januari 2012 di Sekretariat Jikalahari Jl Angsa 1 No 4A Pekanbaru, Riau.
Berdasarkan pemaparan Tim Mediasi dan hasil diskusi yang dilakukan pada hari Kamis, 05 Januari 2012, maka Organisasi Masyarakat Sipil yang terdiri dari LSM, Ormas dan Organisasi Mahasiswa yang hadir pada pertemuan ini menyatakan bahwa permasalahan di Pulau Padang adalah salah satu dari beberapa persoalan yang ditimbulkan akibat dari terbitnya SK. 327/Menhut-II/2009.
Peserta Pertemuan menyatakan Menteri Kehutanan RI perlu segera membentuk Tim Verifikasi Independen dan multipihak untuk meninjau kembali perizinan SK.327/Menhut-II/2009, dengan pertimbangan:
Proses   lahirnya SK. 327/Menhut-II/2009 bermasalah mulai dari  tahapan perizinan, putusan dan implementasinya.
Proses AMDAL yang bertentangan dengan PP 27/1999 pasal 16 ayat 4  tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup, khususnya  ketidaksesuaian peruntukan kawasan hutan yang dicadangkan sebagai areal HTI dengan dokumen TGHK, RTRWN, RTRWP Riau (Perda No. 10 tahun 1994), dan RTRWK Bengkalis (Perda No. 19 tahun 2004). (penjelasan lebih lanjut baca pada Lampiran 1. Penyimpangan Perijinan di Pulau Padang).
Dalam pengambilan data-data di lapangan saat penyusunan AMDAL tim penyusun tidak mengambil sampel biofisik lapangan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berkaitan dengan AMDAL, antara lain
Tim penyusun AMDAL tidak melakukan pengukuran sampel kedalaman lahan gambut secara representatif dan akurat.
Menurut data ANDAL kedalaman gambut di areal pencadangan HTI secara umum < 2,5 m, dan sebagian kecil saja yang ketebalan gambutnya antara 2,5 – 5 meter (sumber: Dokumen ANDAL Areal tambahan PT. RAPP, 2006 halaman V-32),  .
Menurut hasil penelitian Fakultas Kehutanan UGM  kedalaman gambut (sebanyak 70 titik bor) di Pulau Padang > 3 meter, bahkan dibanyak  tempat kedalaman gambutnya > 6,5 meter). (Penjelasan lebih lanjut silahkan dibaca pada Lampiran 2. Pengelolaan Landskape Pulau Padang)
Menurut Disertasi Michael Allen Brady Universitas British Columbia (sekarang menjabat Executive Director GOFC-GOLD  (Global Observation of Forest and Land Cover Dynamics (GOFC-GOLD) GOFC-GOLD adalah Panel of the Global Terrestrial Observing System (GTOS), yang disponsori oleh FAO, UNESCO, WMO, ICSU and UNEP  yang mengambil Pulau Padang sebagai site kajian utama, menunjukkan bahwa sebagian besar kawasan Pulau Padang memiliki kedalaman gambut 9 – 12 meter. (penjelasan lebih lanjut tentang Disertasi tersebut silahkan dilihat pada Lampiran 3.)
Menurut Keppres 32/1999, dan PP No. 47/1997, kawasan gambut dengan kedalaman > 3 meter yang berada di hulu sungai dan rawa termasuk kawasan lindung.  Menurut Keppres 32/1999 pasal 37 ayat 1 tentang Pengendalian Kawasan Lindung, menyebutkan bahwa di dalam kawasan lindung dilarang melakukan kegiatan budidaya, kecuali yang tidak mengganggu fungsi lindung. Pengusahaan HTI skala besar yang menggunakan sistem land clearing dan silvikultur THPB akan menimbulkan dampak negatif terhadap fungsi lindung di kawasan Pulau Padang.
Tim penyusun AMDAL tidak melakukan survey sosial pada masyarakat terdampak akibat operasional HTI (sesuai PP 27/1999 pasal 34), khususnya di Desa Lukit dimana sebagian besar areal HTI termasuk wilayah administratif desa tersebut. Tetapi lokasi survey sosial Tim penyusun AMDAL  justru ke Desa Tanjungkulim dan Desa Kurau yang lokasinya berada diluar areal HTI. (sumber: Dokumen ANDAL Areal Tambahan PT. RAPP Halaman V-68 s.d. V-82).
Terdapat sikap yang sangat tidak kooperatif dari pihak PT. RAPP terhadap akses dokumen ANDAL bagi para multi pihak di Pekanbaru, padahal dokumen ANDAL merupakan dokumen publik.
Hasil interpretasi citra SRTM 30 dengan koreksi ground-check ketinggian tajuk tegakan pohon pada 130 titik di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar kawasan pemukiman dan kebun karet berada pada 1-6 m dpl (di atas permukaan air laut) sehingga adanya rencana HTI dengan kanalisasi besar-besaran berpotensi menyebabkan percepatan tenggelamnya Pulau Padang akibat subsidensi dan meningkatnya pemukaan laut akibat pemanasan global. (penjelasan lebih lanjut silahkan dibaca pada Lampiran 2.)
Indikasi ini sudah terbukti di lapangan, dimana masyarakat Pulau Padang dalam beberapa tahun terakhir ini sudah mengalami bencana banjir rob/pasang air laut. Padahal sampai dengan saat ini belum ada pembelajaran tentang dampak kanalisasi HTI skala besar terhadap keseimbangan ekosistem pulau-pulau kecil.
Telah terjadi pembentukan opini oleh PT. RAPP berkaitan dengan tingkat deforestasi di kawasan Pulau Padang yang dilakukan saat forum Sosialisasi kepada komponen masyarakat Kabupaten Kepulauan Meranti tanggal 30 Oktober 2010:
Menurut analisis peta Citra Landsat tahun 2002 yang dilakukan PT. RAPP, kawasan kebun karet dan kebun sagu (yang dikelola masyarakat Pulau Padang selama puluhan tahun) diidentifikasi sebagai areal deforestasi, sehingga tingkat deforestasi di Pulau Padang termasuk kategori tinggi. Kenyataan ini akan dapat mempengaruhi para pihak yang berkepentingan dalam mengambil keputusan yang berpotensi menguntungkan PT. RAPP terutama dalam menentukan arah kebijakan pengelolaan Pulau Padang di masa depan.
Menurut hasil analisis peta citra Landsat pada tahun 2002 dan Citra Landsat tahun 2010 yang dilakukan oleh Fakultas Kehutanan UGM, ternyata laju deforestasi di Pulau Padang selama rentang waktu 2002-2010 sangat minimum.
Kontroversi kriteria areal yang dapat dijadikan IUPHHKHT/HTI (1). UU 41/1999 tentang Kehutanan; (2). PP 6/1999 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi; (3). Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002, Tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan Dan Penggunaan Kawasan Hutan; (4). Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung; (5). Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 10.1/Kpts-II/2000 Tentang Pedoman Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman; (6). Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 21/Kpts-II/2001 Tentang Kriteria Dan Standar Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Pada Hutan Produksi; dan (7). Keputusan Menteri Kehutanan No: SK. 101/Menhut-II/2004, jo P.05/Menhut-II/2004 tentang Percepatan Pembangunan Hutan Tanaman untuk Pemenuhan Bahan Baku Industri Pulp dan Kertas).
Pulau Padang dengan luas ± 111.500 ha (± 1.115 km2) termasuk dalam katagori pulau kecil. Berdasarkan UU No 27/2007 pasal 1 ayat 3 yang dimaksud Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2  (dua ribu kilometer persegi) beserta kesatuan ekosistemnya. Di dalam UU No 27/2007 pasal 23 ayat 2 dinyatakan Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya diprioritaskan untuk salah satu atau lebih kepentingan berikut: a). konservasi; b). pendidikan dan pelatihan; c). penelitian dan pengembangan; d). budidaya laut; e). pariwisata; f). usaha perikanan dan kelautan dan industri perikanan secara lestari; g). pertanian organik; dan/atau h). peternakan. Pada pasal 23 ayat 3, kegiatan lain diperbolehkan namun wajib memenuhi persyaratan pengelolaan lingkungan, memperhatikan kemampuan sistem tata air setempat, dan menggunakan teknologi yang ramah lingkungan. Mendasar pada pasal 23 UU No 27/2007 tersebut, maka pengelolaan kawasan Pulau Padang tidak diperuntukan untuk kegiatan pengusahaan hutan.
SK 327/Menhut-II/2009 menggunakan  Keputusan Gubernur Riau no. Kpts 667/XI/2004 yang telah kadaluarsa sebagai konsideran.
Masyarakat desa-desa di Pulau Padang sudah ada sejak 1918. Terdiri dari 14 desa yaitu Lukit, Tanjung Padang, Kudap, Dedap, Mengkirau, Bagan Melibur, Mekar Sari, Meranti Bunting, Mengkopot, Selat Akar, Bandul, dan satu kelurahan; Belitung. Jumlah penduduk Pulau Padang  sekitar 35.224 penduduk, berasal dari Etnis Melayu, Jawa, Bugis, Minang, Lombok, Batak dan Akit sebagai suku asli. Heterogenitas itu berujud hidup rukun dan damai.
Ragam Mata pencaharian utama dari penduduk Pulau Padang adalah 70%  petani, dan sisanya adalah  nelayan, PNS, buruh lepas, dan karyawan swasta. Rencana pembangunan HTI telah mengubah dinamika yang sebelumnya kondusif menjadi berpotensi konflik terbuka.
Di Pulau Padang juga terdapat banyak sekali contoh budidaya tananaman keras (karet, sagu) yang telah berlangsung puluhan tahun pada kawasan gambut dalam dengan tata kelola air menggunakan kanal berukuran kecil, dan menjadi andalan ekonomi Pulau Padang.
Dengan kondisi diatas maka NGO dan Ormas di Riau menyatakan bahwa langkah yang harus diambil pemerintah c.q. Kementerian Kehutanan adalah:
  • Kementerian Kehutanan bukan sebatas membentuk tim mediasi namun membentuk Tim Verifikasi         Independen dan multipihak, untuk meninjau kembali perizinan SK.327/Menhut-II/2009.
  • Mensinergikan berbagai pihak dan inisiatif guna menjadikan pengelolaan ekosistem lahan gambut dalam oleh masyarakat di Pulau Padang yang terbukti mampu menopang kehidupan > 32.000 orang untuk dipromosikan sebagai:
  • Model pembelajaran pengelolaan ekosistem gambut dalam (deep peatland farming system) berbasis masyarakat pada kawasan penyangga (buffer zone).
  • Pembanding (benchmark) terhadap kelestarian ratusan ribu Ha lahan gambut yang di drainase secara besar-besaran oleh HTI di Sumatera.
  • Model percontohan perbaikan tata kelola (good governance) di bidang kehutanan, tata kelola lahan gambut, dan tata kelola pulau kecil yang berbasis masyarakat.
  • Model percontohan pengelolaan hutan alam pada ekosistem lahan gambut dalam untuk tujuan produksi, konservasi, dan ecotourism.
  • Ikon best practices dalam pengelolaan ekosistem gambut dalam berbasis masyarakat yang berpeluang menjadi kawasan warisan nasional (national heritage), ditengah pesimisme terhadap isu kegagalan pengelolaan lahan gambut di Indonesia di tingkat Internasional.
Demikian pernyataan ini dibuat NGO dan Ormas Riau sebagai tanggapan atas pembentukan Tim mediasi dan solusi untuk penyelesaian permasalahan yang ditimbulkan dari terbitnya SK.327/Menhut-II/2009.