Berawal dari
keinginan untuk merdeka dan mempertahankan kemerdekaan serta mengisi
pembangunan, organisasi politik lahir dari berbagai aspirasi rakyat yang
berkeinginan untuk bersatu dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Romantika kehidupan organisasi politik sejak kemerdekaan, ditandai dengan
bermunculannya banyak partai (multi partai). Secara teoritikal, makin banyak
organisasi politik memberikan kemungkinan yang lebih luas bagi rakyat untuk
menyalurkan aspirasinya dan meraih peluang untuk memperjuangkan hak-haknya
serta menyumbangkan kewajibannya sebagai warga negara. Banyaknya alternatif
pilihan dan meluasnya ruang gerak partisipasi rakyat memberikan indikasi yang
kuat bahwa sistem pemerintahan di tangan rakyat sangat mungkin untuk
diwujudkan.
Menyadari
keadaan yang sangat penting bagi perkembangan negara dan bangsa, maka lahirlah
gerakan reformasi yang tujuannya tidak lain untuk menghambat dan menghentikan
proses dan praktik-praktik yang distruktif dan menggantinya dengan tatanan,
proses, dan praktik-praktik yang konstruktif bagi perkembangan masyarakat,
bangsa, dan negara. Selanjutnya gerakan reformasi berubah bentuknya secara
lebih sistematik menjadi agenda nasional. Sejalan dengan upaya reformasi yang
merupakan agenda nasional yang kemudian ditindak lanjuti dengan dikeluarkannya
Undangundang No. 3 Tahun 1999, kehidupan kepartaian berubah kembali dengan
kehidupan multi partai dan telah melahirkan 147 partai politik. Dengan
mencermati uraian tersebut di atas, sangat mudah dimengerti bahwa ternyata
sepak terjang peran partai politik sejak kemerdekaan sampai saat ini mengalami
pasang dan surut dalam pembangunan bangsa khususnya peningkatan partisipasi
politik masyarakat di dalam segenap aspek kehidupan pembangunan nasional. Peran
organisasi politik yang bersifat pasang surut tersebut terutama dalam
peningkatan partisipasi politik masyarakat terlihat dalam pasang surutnya peran
sebagai wadah penyalur aspirasi politik, sarana sosialisasi politik, sarana
rekrutment politik, dan sarana pengaturan konflik; karena keempat peran itu
diambil alih oleh pemerintah khususnya eksekutif yang didukung oleh legislatif
dan yudikatif.
Dalam peningkatan
partisipasi politik masyarakat, menunjukkan bahwa masih terdapat hal yang perlu
disempurnakan, direvisi, dan bahkandiperbaharui. Hal ini sejalan dengan
sebagian tujuan reformasi dalam mewujudkan kedaulatan rakyat pada seluruh sendi
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, melalui perluasan dan
peningkatan partisipasi politik rakyat. Partisipasi politik yang otonom pada
hakekatnya merupakan suatu pengejawantahan dari penyelenggaraan kekuasaan
politik yang syahih oleh adanya peningkatan partisipasi politik rakyat.
Peran partai
politik
- 1. Peran Sebagai Wadah Penyalur Aspirasi Politik
Untuk melihat
seberapa jauh peran partai politik sebagai wadah penyalur aspirasi politik
rakyat, sekali lagi harus dilihat dalam konteks prospektif sejarah perkembangan
bangsa Indonesia itu sendiri. Pada awal kemerdekaan, partai politik
belum berperan secara optimal sebagai wadah untuk menyalurkan aspirasi politik
rakyat. Hal ini terlihat dari timbulnya berbagai gejolak dan ketidak puasan di
sekelompok masyarakat yang merasa aspirasinya tidak terwadahi dalam bentuk
gerakan-gerakan separatis seperti proklamasi Negara Islam oleh Kartosuwiryo
tahun 1949, terbentuknya negara negara boneka yang bernuansa kedaerahan.2
Negara-negara boneka ini sengaja diciptakan oleh Belanda untuk memecah belah
persatuan dan kesatuan. Namun kenapa hal itu terjadi dan ditangkap oleh
sebagian rakyat pada waktu itu? Jawabannya adalah bahwa aspirasi rakyat
berbelok arah mengikuti aspirasi penjajah, karena tersumbatnya saluran aspirasi
yang disebabkan kapasitas sistem politik boleh dikatakan bahwa rendahnya
kapasitas sistem politik, lebih disebabkan oleh karena sistem politik masih
berada pada tahap awal perkembangannya.3
Pada fase
berikutnya dalam sejarah perjalanan bangsa yaitu masa Orde Lama, peran
organisasi politik sebagai wadah penyalur aspirasi politik rakyat juga belum
terlaksana sesuai dengan yang diharapkan. organisasi politik cenderung
terperangkap oleh kepentingan partai dan/ atau kelompoknya masing-masing dan
bukan kepentingan rakyat secara keseluruhan. Sebagai akibat daripadanya adalah
terjadinya ketidak stabilan sistem kehidupan politik dan kemasyarakatan yang
ditandai dengan berganti-gantinya kabinet, organisasi politik tidak berfungsi
dan politik dijadikan panglima, aspirasi rakyat tidak tersalurkan akibatnya
kebijaksanaan politik yang dikeluarkan saat itu lebih bernuansa kepentingan
politik dari pada kepentingan ekonomi, rasa keadilan terusik dan ketidak puasan
semakin mengental, demokrasi hanya dijadikan jargon politik, tapi tidak
disertai dengan upaya memberdayakan pendidikan politik rakyat.
Di zaman
pemerintahan Orde Baru, peran organisasi politik dalam kehidupan
berbangsa dicoba ditata melalui UU No. 3 Tahun 1973, partai politik yang
jumlahnya cukup banyak di tata menjadi 3 kekuatan sosial politikyang terdiri
dari 2 partai politik yaitu PPP dan PDI serta 1 Golkar. Namun penataan partai
politik tersebut ternyata tidak membuat semakin berperannya partai politik
sebagai wadah penyalur aspirasi politik rakyat. organisasi politik yang
diharapkan dapat mewadahi aspirasi politik rakyat yang terkristal menjadi
kebijakan publik yang populis tidak terwujud. Hal ini terlihat dari
kebijaksanaan publik yang dihasilkan pada pemerintahan orde baru ternyata
kurang memperhatikan aspirasi politik rakyat dan cenderung merupakan sarana
legitimasi kepentingan penguasa dan kelompok tertentu. Akibatnya pembangunan
nasional bukan melakukan pemerataan dan kesejahteraan namun menimbulkan
ketimpangan dan kesenjangan sosial di berbagai aspek kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Hal ini dikarenakan peran organisasi politik sebagai
wadah penyalur aspirasi politik rakyat oleh pemerintahan orde baru tidak
ditempatkan sebagai kekuatan politk bangsa tetapi hanya ditempatkan sebagai
mesin politik penguasa dan assesoris demokrasi untuk legitimasi kekuasaan
semata. Akibatnya peran partai politik sebagai wadah penyalur betul-betul
terbukti nyaris bersifat mandul dan hampir-hampir tak berfungsi.
Era reformasi muncul sebagai gerakan korektif dan
pelopor perubahan perubahan mendasar di berbagai aspek kehidupan. Gerakan
reformasi yang melahirkan proses perubahan dan melengserkan pemerintahan orde
baru dan melahirkan UU No. 3 Tahun 1999 tentang partai politik memungkinkan
sistem multi partai kembali bermunculan. Harapan peran partai sebagai wadah
penyalur aspirasi politik akan semakin baik, meskipun hingga saat ini belum
menunjukkan kenyataan. Hal ini terlihat dari kampanye Pemilu yang masih
diwarnai banyaknya partai politik yang tidak mengaktualisasikan aspirasi rakyat
dalam wujud program partai yang akan diperjuangkan. Mirip dengan fenomena lama
dimana yang ada hanya janji dan slogan slogan kepentingan politik sesaat.
Meskipun rezim otoriter telah berakhir dan keran demokrasi telah dibuka secara
luas sejalan dengan bergulirnya proses reformasi, namun terpenuhi secara
maksimal. Aspirasi rakyat belum tertangkap, terartikulasi, dan teragregasikan
secara transparan dan konsisten. Distorsi atas aspirasi, kepentingan, dan
kekuasaan rakyat masih sangat terasa dalam kehidupan politik, baik distorsi
yang datangnya dari elit politik, penyelenggara negara, pemerintah, maupun
kelompokkelompok kepentingan. Di lain pihak, institusi pemerintah dan negara
tidak jarang berada pada posisi yang seolah tidak berdaya menghadapi kebebasan
yang terkadang melebihi batas kepatutan dan bahkan muncul kecenderungan yang
mengarah anarchis walaupun polanya tidak melembaga dan lebih banyak bersifat
kontekstual.
2. Peran
sebagai Sarana Sosialisasi Politik
Budaya politik
merupakan produk dari proses pendidikan atau sosialisasi politik dalam sebuah
masyarakat. Dengan sosialisasi politik, individu dalam negara akan menerima
norma, sistem keyakinan, dan nilai-nilai dari generasi sebelumnya, yang
dilakukan melalui berbagai tahap, dan dilakukan oleh bermacam-macam agens,
seperti keluarga, saudara, teman bermain, sekolah (mulai dari taman kanak-kanak
sampai perguruan tinggi), lingkungan pekerjaan, dan tentu saja media massa,
seperti radio, TV, surat kabar, majalah, dan juga internet. Proses sosialisasi
atau pendidikan politik Indonesia tidak memberikan ruang yang cukup untuk
memunculkan masyarakat madani (civil society). Yaitu suatu masyarakat yang
mandiri, yang mampu mengisi ruang publik sehingga mampu membatasi kekuasaan
negara yang berlebihan. Masyarakat madani merupakan gambaran tingkat
partisipasi politik pada takaran yang maksimal. Dalam kaitan ini, sedikitnya
ada tiga alasan utama mengapa pendidikan politik dan sosialisasi politik di
Indonesia tidak memberi peluang yang cukup untuk meningkatkan partisipasi
politik masyarakat.
Pertama, dalam
masyarakat kita anak-anak tidak dididik untuk menjadi insan mandiri. Anak-anak
bahkan mengalami alienasi dalam politik keluarga. Sejumlah keputusan penting
dalam keluarga, termasuk keputusan tentang nasib si anak, merupakan domain
orang dewasa.
Kedua, tingkat
politisasi sebagian terbesar masyarakat kita sangat rendah. Di kalangan
keluarga miskin, petani, buruh, dan lain sebagainya, tidak memiliki kesadaran
politik yang tinggi, karena mereka lebih terpaku kepada kehidupan ekonomi dari
pada memikirkan segala sesuatu yang bermakna politik..
Ketiga, setiap
individu yang berhubungan secara langsung dengan negara tidak mempunyai
alternatif lain kecuali mengikuti kehendak negara, termasuk dalam hal
pendidikan politik. Jika kita amati, pendidikan politik di Indonesia lebih
merupakan sebuah proses penanaman nilai-nilai dan keyakinan yang diyakini oleh
penguasa negara.
3. Peran
sebagai Sarana Rekrutmen Politik
Peran
organisasi politik sebagai sarana rekruitmen politik dalam rangka meningkatkan
partisipasi politik masyarakat, adalah bagaimana partai politik memiliki andil
yang cukup besar dalam hal: (1) Menyiapkan kader-kader pimpinan politik; (2)
Selanjutnya melakukan seleksi terhadap kader-kader yang dipersiapkan; serta (3)
Perjuangan untuk penempatan kader yang berkualitas, berdedikasi, memiliki
kredibilitas yang tinggi, serta mendapat dukungan dari masyarakat pada jabatan
jabatan politik yang bersifat strategis. Makin besar andil organisasi politik
dalam memperjuangkan dan berhasil memanfaatkan posisi tawarnya untuk
memenangkan perjuangan dalam ketiga hal tersebut; merupakan indikasi bahwa
peran partai politik sebagai sarana rekrutmen politik berjalan secara efektif.
Rekrutmen
politik yang adil, transparan, dan demokratis pada dasarnya adalah untuk
memilih orang-orang yang berkualitas dan mampu memperjuangkan nasib rakyat
banyak untuk mensejahterakan dan menjamin kenyamanan dan keamanan hidup bagi
setiap warga negara. Kesalahan dalam pemilihan kader yang duduk dalam jabatan
strategis bisa menjauhkan arah perjuangan dari cita-rasa kemakmuran,
kesejahteraan, dan keadilan bagi masyarakat luas. Oleh karena itulah tidaklah
berlebihan bilamana dikatakan bahwa rekrutmen politik mengandung implikasi pada
pembentukan cara berpikir, bertindak dan berperilaku setiap warga negara yang
taat, patuh terhadap hak dan kewajiban, namun penuh dengan suasana demokrasi
dan keterbukaan bertanggung jawab terhadap persatuan dan kesatuan bangsa dalam
wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun bila dikaji secara sekilas
sampai dengan saat inipun proses rekrutmen politik belum berjalan secara
terbuka, transparan, dan demokratis yang berakibat pemilihan kader menjadi
tidak obyektif. Proses penyiapan kader juga terkesan tidak sistematik dan tidak
berkesinambungan. organisasi politik dalam melakukan pembinaan terhadap
kadernya lebih inten hanya pada saat menjelang adanya event-event politik;
seperti konggres partai, pemilihan umum, dan sidang MPR. Peran rekrutmen
politik masih lebih didominasi oleh kekuatan-kekuatan di luar partai politik.
Dalam kondisi seperti itu, tentu saja pembinaan, penyiapan, dan seleksi
kader-kader politik sangat boleh jadi tidak berjalan secara memadai
.
4. Peran
sebagai Sarana Pengatur Konflik
Yang dimaksud
dengan konflik atau pertentangan mengandung suatu pengertian tingkah laku yang
lebih luas dari apa yang biasanya dibayangkan oleh kebanyakan orang. Secara
umum kita sering beranggapan bahwa konflik mengandung benih dan didasarkan pada
pertentangan yang bersifat kasar dan keras. Namun sesungguhnya, dasar dari
konflik adalah berbeda-beda, yang secara sederhana dapat dikenali tiga elemen
dasar yang merupakan ciri-ciri dari situasi konflik yaitu: (1) Terdapatnya dua
atau lebih unit-unit atau bagian-bagian yang terlibat dalam suatu konflik; (2)
Unit-unit tersebut, mempunyai perbedaan-perbedaan yang tajam dalam
kebutuhan-kebutuhan, tujuan-tujuan, masalah-masalah, nilai-nilai, sikap-sikap,
maupun gagasan-gagasan; dan (3) Terjadi atau terdapat interaksi antara
unit-unit atau bagian-bagian yang terlibat dalam sebuah konflik. Konflik
merupakan suatu tingkah laku yang tidak selalu sama atau identik dengan
emosi-emosi tertentu yang sering dihubungkan dan/ atau dikaitkan dengannya,
seperti rasa kebencian atau permusuhan. Konflik dapat terjadi pada lingkungan
yang paling kecil yaitu individu, sampai kepada lingkungan yang luas yaitu
masyarakat. Pada taraf masyarakat, konflik bersumber pada perbedaan diantara
nilai-nilai dan normanorma kelompok dengan nilai-nilai dan norma-norma di mana
kelompok tersebut berada. Demikian pula konflik dan bersumber dari
perbedaan-perbedaan dalam tujuan, nilai dan norma, serta minat yang disebabkan
karena adanya perbedaan pengalaman hidup dan sumber-sumber sosial ekonomis di
dalam suatu kebudayaan tertentu dengan yang ada dalam kebudayaan-kebudayaan
lain.
Dalam
menjalankan peran sebagai pengatur konflik ini, partai-partai politik harus
benar-benar mengakar dihati rakyat banyak, peka terhadap bisikan hati nurani
masyarakat serta peka terhadap tuntutan kebutuhan rakyat. Dengan munculnya
partai partai baru tentu saja persyaratan mengakar di hati rakyat belum bisa
terpenuhi dan bahkan boleh dikatakan masih jauh dari harapan. Sedangkan
organisasi politik yang lamapun belum tentu telah memiliki akar yang kuat di
hati rakyat, mengingat partisipasi politik rakyat masih lebih banyak bersifat
semu. Artinya rakyat baru memiliki partisipasi yang nyata adalah pada saat
pelaksanaan pemilihan umum, sementara pada proses-proses pembuatan keputusan politik,
dan kontrol terhadap pelaksanaan kebijakan politik masih tergolong dalam
kategori yang relatif rendah. Meskipun akhir-akhir ini banyak demonstrasi dan
kebebasan media massa sangat luas, batasan terhadap akses informasi makin
lunak; namun bila dikaji substansi yang dituntut dan disampaikan masih lebih
banyak didasarkan pada rekayasa kelompok politik dan/ atau elit politik
tertentu. Belum cukup marak tuntutan dan suara-suara yang memperjuangkan
kepentingan rakyat banyak.
Faktor-faktor
Pendukung dan Penghambat Terhadap Organisasi Politik dalam Peningkatan
Partisipasi politik Masyarakat
Faktor-faktor
pendukung bagi penguatan peran organisasi dalam peningkatan partisipasi politik
masyarakat antara lain yang terpenting adalah: (1) Masih diterimanya Pancasila
serta pembukaan UUD 1945 dan keinginan untuk mengamandemen UUD 1945 merupakan
wujud kesadaran berpolitik yang berakar kepada demokratisasi; (2) Masih
berjalan dan kuatnya struktur politik dengan semakin mantapnya kearah
demokratisasi; (3) Makin tingginya kesadaran politik masyarakat, ditunjukkan
dengan pelaksanaan pemilu yang berlangsung aman, langsung, umum, bebas dan
rahasia; dan (4) Masih tingginya atensi politik terhadap penyelenggaraan
kepemimpinan nasional, menunjukkan sikap mengarah kedewasaan berpolitik.
Faktor-faktor
penghambat bagi penguatan organisasi partai politik dalam peningkatan
partisipasi politik masyarakat antara lain yang terpenting adalah: (1) Masih
kurang ditaatinya peraturan, perundangan tentang mengeluarkan pendapat dan
berkumpul serta masih diragukannya RUU KKN walaupun sudah diperbaiki dan
disempurnakan; (2) Kurangnya dilaksanakan dalam sikap dan tindakan yang lebih
mengutamakan kepentingna nasional, dapat mengakibatkan melesetnya arah ketujuan
nasional; (3) Proses demokrasi dengan organisasi yang sangat banyak dapat
memungkinkan lambatnya proses politik; (4) Masih adanya ide sparatis yang
justru timbul pada saat situasi
politik dan
ekonomi lemah, serta dihadapkannya TNI dan Polri dalam front politik serta
keamanan yang
sangat luas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar