Di dalam konsep (manhaj) Islam, pemimpin
merupakan hal yang sangat final dan fundamental. Ia menempati posisi tertinggi
dalam bangunan masyarakat Islam. Dalam kehidupan berjama'ah, pemimpin ibarat
kepala dari seluruh anggota tubuhnya. Ia memiliki peranan yang strategis dalam
pengaturan pola (minhaj) dan gerakan (harakah). Kecakapannya dalam memimpin
akan mengarahkan ummatnya kepada tujuan yang ingin dicapai, yaitu kejayaan dan
kesejahteraan ummat dengan iringan ridho Allah (Qs. 2 : 207).
Dalam bangunan masyarakat Islami, pemimpin berada
pada posisi yang menentukan terhadap perjalanan ummatnya. Apabila sebuah
jama'ah memiliki seorang pemimpin yang prima, produktif dan cakap dalam
pengembangan dan pembangkitan daya juang dan kreativitas amaliyah, maka dapat
dipastikan perjalanan ummatnya akan mencapai titik keberhasilan. Dan
sebaliknya, manakala suatu jama'ah dipimpin oleh orang yang memiliki banyak
kelemahan, baik dalam hal keilmuan, manajerial, maupun dalam hal pemahaman dan
nilai tanggung jawab, serta lebih mengutamakan hawa nafsunya dalam pengambilan
keputusan dan tindakan, maka dapat dipastikan, bangunan jama'ah akan mengalami
kemunduran, dan bahkan mengalami kehancuran (Qs. 17 : 16)
"Dan jika Kami hendak membinasakan suatu
negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah (kaum elit
dan konglomerat) di negeri itu (untuk menaati Allah), akan tetapi mereka
melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnyalah berlaku
terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu
sehancur-hancurnya." (Qs. 17 : 16)
Oleh karena itulah, Islam memandang bahwa
kepemimpinan memiliki posisi yang sangat strategis dalam terwujudnya masyarakat
yang berada dalam Baldatun Thoyyibatun Wa Robbun Ghofur (Qs. 34 : 15), yaitu
masyarakat Islami yang dalam sistem kehidupannya menerapkan prinsip-prinsip
Islam. Begitu pentingnya kepemimpinan atau imam dalam sebuah jama'ah atau
kelompok, sampai-sampai Rasulullah bersabda yang maksudnya:
"Apabila kamu mengadakan perjalanan secara
berkelompok, maka tunjuklah salah satunya sebagai imam (pemimpin
perjalanan)."
Demikian juga jika kita lihat dalam sejarah Islam
(Tarikh Islam) mengenai pentingnya kedudukan pemimpin dalam kehidupan ummat
muslim. Kita lihat dalam sejarah, ketika Rasulullah saw. wafat, maka para
shahabat segera mengadakan musyawarah untuk menentukan seorang khalifah. Hingga
jenazah Rasulullah pun harus tertunda penguburanya selama tiga hari. Para
shahabat ketika itu lebih mementingkan terpilihnya pemimpin pengganti
Rasulullah, karena kekhawatiran akan terjadinya ikhlilaf (perpecahan) di
kalangan ummat muslim kala itu. Hingga akhirnya terpilihlah Abu Bakar sebagai
khalifah yang pertama setelah Rasulullah saw. wafat.
Dalam perspektif Islam, ada
beberapa komponen yang menjadi persyaratan terwujudnya masyarakat Islami, yaitu
:Adanya wilayah teritorial yang kondusif (al-bi'ah, al-quro)
Adanya ummat (al-ummah)
Adanya syari'at atau aturan (asy-syari'ah)
Adanya pemimpin (al-imamah, amirul ummah)
Pemimpin pun menjadi salah satu pilar penting dalam upaya kebangkitan ummat. Islam yang telah dikenal memiliki minhajul hayat (konsep hidup) paling teratur dan sempurna dibandingkan konsep-konsep buatan dan olahan hasil rekayasa dan imajinasi otak manusia, telah menunjukkan nilainya yang universal dan dinamis dalam penyatuan seluruh komponen ummat (Qs. 21 : 92).
Ada empat pilar kebangkitan ummat, yang kesemuanya saling menopang dan melengkapi, yaitu :
Keadilan para pemimpin (umaro)
Ilmunya para ‘ulama
Kedermawanan para aghniya (orang kaya)
Do'anya orang-orang faqir (miskin)
Definisi Pemimpin
Ada beberapa istilah yang mengarah kepada pengertian pemimpin, diantaranya :
Umaro atau ulil amri yang bermakna pemimpin negara (pemerintah)
Amirul ummah yang bermakna pemimpin (amir) ummat
Al-Qiyadah yang bermakna ketua atau pimpinan kelompok
Al-Mas'uliyah yang bermakna penanggung jawab
Khadimul ummah yang bermakna pelayan ummat
Dari beberapa istilah tadi, dapat disimpulkan
bahwa pemimpin adalah orang yang ditugasi atau diberi amanah untuk mengurusi
permasalahan ummat, baik dalam lingkup jama'ah (kelompok) maupun sampai kepada
urusan pemerintahan, serta memposisikan dirinya sebagai pelayan masyarakat
dengan memberikan perhatian yang lebih dalam upaya mensejahterakan ummatnya,
bukan sebaliknya, mempergunakan kekuasaan dan jabatan untuk mengeksploitasi
sumber daya yang ada, baik SDM maupun SDA, hanya untuk pemuasan kepentingan
pribadi (ananiyah) dan kaum kerabatnya atau kelompoknya (ashobiyah).
Kriteria
dalam Menentukan Pemimpin
Jika kita menyimak terhadap perjalanan siroh
nabawiyah (sejarah nabi-nabi) dan berdasarkan petunjuk Al-Qur'an (Qs. 39 : 23)
dan Al-Hadits (Qs. 49 : 7), maka kita dapat menyimpulkan secara garis besar
beberapa kriteria dalam menentukan pemimpin.
Beberapa faktor yang menjadi kriteria yang
bersifat general dan spesifik dalam menentukan pemimpin tersebut adalah antara
lain :
a.
Faktor Keulamaan
- Dalam Qs. 35 : 28, Allah menerangkan bahwa
diantara hamba-hamba Allah, yang paling takut adalah al-‘ulama. Hal ini
menunjukkan bahwa apabila pemimpin tersebut memiliki kriteria keulamaan, maka
dia akan selalu menyandarkan segala sikap dan keputusannya berdasarkan wahyu
(Al-Qur'an). Dia takut untuk melakukan kesalahan dan berbuat maksiat kepada
Allah.
- Berdasarkan Qs. 49 : 1, maka ia tidak akan
gegabah dan membantah atau mendahului ketentuan yang telah ditetapkan Allah dan
Rasul-Nya. Dalam pengambilan keputusan, ia selalu merujuk kepada petunjuk
Al-Qur'an dan Al-Hadits.
- Berdasarkan Qs. 29 : 49, maka seorang pemimpin
yang berkriteria ulama, haruslah memiliki keilmuan yang dalam di dalam dadanya
(fii shudur). Ia selalu menampilkan ucapan, perbuatan, dan perangainya
berdasarkan sandaran ilmu.
- Berdasarkan Qs. 16 : 43, maka seorang pemimpin
haruslah ahlu adz-dzikri (ahli dzikir) yaitu orang yang dapat dijadikan rujukan
dalam menjawab berbagai macam problema ummat.
b.
Faktor Intelektual (Kecerdasan)
- Seorang calon pemimpin haruslah memiliki
kecerdasan, baik secara emosional (EQ), spiritual (SQ) maupun intelektual (IQ).
- Dalam hadits Rasulullah melalui jalan shahabat
Ibnu Abbas r.a, bersabda :
"Orang yang pintar (al-kayyis) adalah orang
yang mampu menguasai dirinya dan beramal untuk kepentingan sesudah mati, dan
orang yang bodoh (al-‘ajiz) adalah orang yang memperturutkan hawa nafsunya dan
pandai berangan-angan atas Allah dengan segala angan-angan." (HR. Bukhari,
Muslim, Al-Baihaqy)
Hadits ini mengandung isyarat bahwa seorang
pemimpin haruslah orang yang mampu menguasai dirinya dan emosinya. Bersikap
lembut, pemaaf, dan tidak mudah amarah. Dalam mengambil sikap dan keputusan, ia
lebih mengutamakan hujjah Al-Qur'an dan Al-Hadits, daripada hanya sekedar nafsu
dan keinginan-nya. Ia akan menganalisa semua aspek dan faktor yang mempengaruhi
penilaian dan pengambilan keputusan.
- Berdasarkan Qs. 10 : 55, mengandung arti bahwa
dalam mengambil dan mengajukan diri untuk memegang suatu amanah, haruslah
disesuaikan dengan kapasitas dan kapabilitas (kafa'ah) yang dimiliki (Qs. 4 :
58).
- Rasulullah berpesan : "Barangsiapa
menyerahkan suatu urusan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya."
c.
Faktor Kepeloporan
- Berdasarkan Qs. 39 : 12, maka seorang pemimpin
haruslah memiliki sifat kepeloporan. Selalu menjadi barisan terdepan (pioneer)
dalam memerankan perintah Islam.
- Berdasarkan Qs. 35 : 32, maka seorang pemimpin
haruslah berada pada posisi hamba-hamba Allah yang bersegera dalam berbuat
kebajikan (sabiqun bil khoiroti bi idznillah)
- Berdasarkan Qs. 6 : 135, maka seorang pemimpin
tidak hanya ahli di bidang penyusunan konsep dan strategi (konseptor), tetapi
haruslah juga orang yang memiliki karakter sebagai pekerja (operator). Orang
yang tidak hanya pandai bicara, tetapi juga pandai bekerja.
- Berdasarkan Qs. 6 : 162 - 163, maka seorang
pemimpin haruslah orang yang tawajjuh kepada Allah. Menyadari bahwa semua yang
berkaitan dengan dirinya, adalah milik dan untuk Allah. Sehingga ia tidak akan
menyekutukan Allah, dan selalu berupaya untuk mencari ridho Allah (Qs. 2 : 207)
- Berdasarkan Qs. 3 : 110, sebagai khoiru ummah
(manusia subjek) maka seorang pemimpin haruslah orang yang selalu menyeru
kepada yang ma'ruf, mencegah dari perbuatan yang mungkar, dan senantiasa
beriman kepada Allah.
d.
Faktor Keteladanan
- Seorang calon pemimpin haruslah orang yang
memiliki figur keteladanan dalam dirinya, baik dalam hal ibadah, akhlaq, dsb.
- Berdasarkan Qs. 33 : 21, maka seorang pemimpin
haruslah menjadikan Rasulullah sebagai teladan bagi dirinya. Sehingga, meskipun
tidak akan mencapai titik kesempurnaan, paling tidak ia mampu menampilkan
akhlaq yang baik layaknya Rasulullah.
- Berdasarkan Qs. 68 : 4, maka seorang pemimpin
haruslah memiliki akhlaq yang mulia (akhlaqul karimah), sehingga dengannya
mampu membawa perubahan dan perbaikan dalam kehidupan sosial masyarakat.
- Faktor akhlaq adalah masalah paling mendasar
dalam kepemimpinan. Walaupun seorang pemimpin memiliki kecerdasan intelektual
yang luar biasa, tetapi apabila tidak dikontrol melalui akhlaq yang baik, maka
ia justru akan membawa kerusakan (fasada) dan kehancuran.
e.
Faktor Manajerial (Management)
- Berdasarkan Qs. 61 : 4, maka seorang pemimpin
haruslah memahami ilmu manajerial (meskipun pada standar yang minim). Memahami
manajemen kepemimpinan, perencanaan, administrasi, distribusi keanggotaan, dsb.
- Seorang pemimpin harus mampu menciptakan
keserasian, keselarasan, dan kerapian manajerial lembaganya (tandhim), baik
aturan-aturan yang bersifat mengikat, kemampuan anggota, pencapaian hasil,
serta parameter-parameter lainnya.
- Dengan kemampuan ini, maka akan tercipta
tanasuq (keteraturan), tawazun (keseimbangan), yang kesemuanya bermuara pada
takamul (komprehensif) secara keseluruhan.
Oleh karena itu, mari kita lebih berhati-hati
dalam menentukan imam atau pemimpin kita. Karena apapun akibat yang
dilakukannya, maka kita pun akan turut bertanggung jawab terhadapnya. Jika
kepemimpinannya baik, maka kita akan merasakan nikmatnya. Sebaliknya, apabila
kepemimpinannya buruk, maka kita pun akan merasakan kerusakan dan
kehancurannya. Wallahu a'lam bish-showwab
(Sumber : Al Qur'an Al Karim)
"Al Haqqu min robbika, fala takuu nanna
minal mumtariin"
(Qs. Al Baqarah (2) : 147)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar